Selamat datang di SUMBER PAUD. Temukan apa yang tidak bisa ditemukan di tempat lain!

Jumat, 03 Juli 2015

Mengikuti Perdebatan Tahap Merangkak pada Balita

Merangkak merupakan salah satu tahap perkembangan anak. Gerakan yang melibatkan koordinasi tangan dan kaki tersebut biasanya dialami bayi berusia 8–9 bulan. Tahap itu umum dilewati sebelum bayi mampu berjalan. Namun, akhir-akhir ini, banyak bayi yang mampu berjalan tanpa melewati fase tersebut. Apakah berdampak buruk?
------------------------------
BANYAK yang berujar, usia 0–2 tahun merupakan masa emas untuk anak. Perkembangan kognitif, motorik, dan kemampuan berbahasa berkembang amat pesat. Tidak heran, banyak yang mengibaratkan golden period itu sebagai investasi. Sebab, kemampuan dan keterampilan tersebut bisa dikembangkan hingga mereka dewasa.
   Salah satu kemampuan motorik yang dipelajari anak pada usia kurang dari setahun adalah merangkak. ’’Tahapnya memang perlahan. Setelah mampu menyangga badan, baru berjalan. Jadi, sebaiknya memang merangkak dulu,’’ ungkap Irene F. Mongkar, konsultan perkembangan anak.
   Menurut dia, merangkak adalah tahap yang sulit buat si kecil. Saat merangkak, si kecil bertumpu pada telapak tangan dan lutut. Gerakannya pun tidak boleh asal. Perempuan yang akrab disapa Bubun tersebut menjelaskan, gerak kaki dan tangan butuh koordinasi. Sebab, gerakannya saling silang–saat tangan kanan bergerak, kaki kiri harus mengikuti dan sebaliknya.
   ’’Mereka juga harus melawan gravitasi karena badannya nggak lagi nempel lantai atau alas,’’ lanjutnya.
   Saat merangkak, otot tangan dan kaki anak akan banyak bergerak serta menopang tubuh. Hal tersebut, menurut Bubun, merupakan modal sebelum si kecil cruising (berjalan sambil berpegangan pada objek).
   Gerakan-gerakan kala si kecil merangkak bisa melatih sekaligus menguatkan otot tangan. Bubun menjelaskan, jika memiliki otot tangan yang kuat, tentu saja kemampuan motorik halus mereka akan ikut bagus. Perempuan yang juga praktisi Glenn Doman itu menjelaskan, anak-anak tersebut mampu menggenggam, memegang, dan menggunakan jemari secara baik.
   Secara teori, perkembangan bayi harus runtut dengan tahap-tahap dalam Denver Developmental Milestones Chart. Panduan tersebut menunjukkan perjalanan yang akan dilalui si kecil hingga usia 12 tahun. ’’Tapi, kecepatannya di tiap anak berbeda-beda. Bergantung apakah si kecil punya potensi lebih cepat (advance) atau terlambat (delay),’’ ungkap dr Dini Adityaningsih SpA, spesialis anak RSIA Kendangsari.
   Untuk tahap merangkak, perempuan asal Surabaya tersebut menjelaskan, masing-masing anak memiliki timing. Karena itu, bukan tidak mungkin seorang bayi melewati masa merangkak. Penyebabnya, bukan karena tidak mampu, namun lebih pada faktor stimulasi dan minat anak.
’’Misalnya, anak sudah usia 9 bulan. Tapi, tiap hari digendong terus. Tentu saja dia nggak akan terlatih,’’ ucap Dini. Orang tua wajib mendorong anak untuk merangkak. Cukup sediakan play mat atau alas plus mainan favorit mereka di lantai. Dengan senang hati, si kecil akan merangkak untuk meraih mainan tersebut.
   Melalui gerakan merangkak, bayi akan melatih motorik kasarnya. Gerakan tubuh bakal makin terlatih, otot-otot bayi pun akan terbiasa bekerja. Dengan demikian, menurut dokter yang terlahir kembar tersebut, tahap-tahap perkembangan motorik kasar selanjutnya lebih mudah buat si anak.
Spesialis anak alumnus Universitas Airlangga itu menegaskan, pentingnya merangkak memang tengah ramai diperbincangkan. ’’Normalnya, anak memang melewati hal tersebut. Tapi, kalau si kecil sudah bisa berjalan, tidak bijak juga kalau mereka diminta balik merangkak,’’ ujar Dini.

Koordinasi Otak Kiri dan Kanan
Merangkak adalah tahap yang paling kompleks. ’’Gerakan merangkak itu kombinasi kinetik, audio, dan visual. Anak pasti merangkak kalau ada pancingannya,’’ ucap Dini. Dia menjelaskan, saat merangkak, anak akan bergerak menuju ’’incaran’’. Bisa berupa mainan, suara, hingga orang yang tengah memanggilnya.
   Pada tahap tersebut, otak dan tubuh berkoordinasi. Otak akan mengomando tubuh untuk mencapai target itu. Dalam fase merangkak, perempuan kelahiran 4 Maret 1970 tersebut menegaskan, kemampuan konsentrasi bayi akan ditantang. Sebab, saat merangkak, banyak objek yang menghalangi bayi untuk meraih benda. Berbeda dengan saat berjalan, pandangan anak tidak terhalang kaki meja, kursi, atau benda lain.
   Sementara itu, Bubun menjelaskan, secara tidak langsung, merangkak memengaruhi penglihatan si kecil. ’’Berbeda dengan saat digendong, ketika merangkak, bayi bisa memandang lebih luas,’’ ungkapnya. Mulai memandang lantai, bagian samping kiri-kanan badannya, hingga memandang ke atas.
   Kemampuan melihat, gerak tubuh, dan konsentrasi otak menuju target membuat indra anak berkoordinasi. Hal tersebut dinilai psikolog asal Jakarta tersebut mampu memengaruhi minat membaca kelak. ’’Seperti merangkak, membaca butuh melihat dan konsentrasi. Makanya, banyak anak yang cepat jalan, tapi malas baca,’’ tegasnya.

Jangan Cemas kalau Merangkak
Banyak isu yang menyebutkan bahwa bayi yang melewati tahap merangkak akan menghadapi masalah. Misalnya, kurang fokus, jalan yang tidak tegap atau kurang lurus, hingga tulisan yang jelek. Jika si kecil telanjur melewati tahap merangkak, orang tua tidak perlu cemas.
   Perkembangan motorik kasar dan halus anak-anak tetap bisa dilatih. ’’Menulis kan nggak melulu diawali merangkak. Bisa dilatih, asal telaten,’’ ucap Dini. Untuk bisa menulis, anak harus mampu memegang pensil dengan benar. Latihannya, menjumput benda kecil seperti manik-manik. Jika sudah mampu memegang –bukan menggenggam–, anak bisa dilatih untuk mencoret.
   Langkah yang tidak tegap dan tidak lurus bisa diperbaiki dengan latihan jalan pendek. Bubun menjelaskan, anak bisa diajak berjalan mengikuti garis lantai. ’’Atau, minta anak berjalan ke arah benda yang posisinya lurus dengan dia,’’ ungkapnya. Memegangi anak saat berlatih berjalan juga bisa membantu si kecil melangkah lurus.
    Secara umum, banyak hal yang bisa dilakukan orang tua agar si kecil bisa mengembangkan motorik kasarnya. Untuk balita, Bubun menyarankan kepada orang tua untuk sering-sering mengajak si kecil berjalan, bahkan berolahraga. Tinggal pilih olahraga yang ringan dan bisa dilakukan si anak tanpa risiko cedera.

Sumber: Jawa Pos

Cara Tepat Perlakukan Anak Tunarungu

Masih ada kalangan yang kurang memperhitungkan penyandang tunarungu. Mereka memandang anak tunarungu selalu bergantung pada orang lain dan sulit bersosialisasi. Bagaimana pengasuhan orang tua untuk membentuk kemandirian mereka?
-------------------------------
PANDANGAN negatif tentu membuat anak tunarungu merasa kurang dihargai sebagai individu. Bahkan, muncul rasa rendah diri dan hanya ingin bersama orang tuanya saja. Padahal, anak tunarungu akan tumbuh dan menjadi pribadi dewasa yang mandiri.
Hal tersebut diungkapkan Eko Yuwono Putra, kepala SDLB-B Karya Mulia 1 Surabaya. ’’Secara fisik dan kognitif, sebenarnya mereka normal. Hanya bermasalah pada pendengaran yang berdampak pada pengucapan kata-katanya,’’ terangnya.
Dia menyarankan, anak-anak tunarungu tersebut seyogianya diperlakukan sama dengan anak normal. ’’Di sini, kelas 1–3 masih ditunggu. Orang tua masih tidak tega. Kelas 4–6 diantar jemput. Selanjutnya baru dilepas,’’ papar kepala sekolah yang juga mengajar pelajaran agama dan PKn tersebut.
Endah, guru kelas 1, menegaskan kondisi tersebut. ’’Semakin kita kasihan, semakin mereka tidak bisa mandiri,’’ ujarnya. Dia selalu menasihati orang tua siswa, kalau tidak mau perkembangan anak terlambat, jangan apa-apa ditawarkan. Biarkan mereka belajar berujar dan meminta sendiri.
Endah mengisahkan, anak-anak perlu memahami alasan tidak boleh memukul, menangis, dan bertengkar. ’’Ya diajarkan, kalau salah, ya minta maaf. Tiga kata wajib, maaf, terima kasih, dan tolong, harus mereka pahami,’’ imbuhnya.
Definisi mandiri, menurut guru 32 tahun tersebut, adalah saat mereka sudah tidak dilayani. Akan lebih baik jika mereka mampu membantu orang tua. Membersihkan rumah, misalnya. ’’Beri kepercayaan kepada mereka layaknya anak normal,’’ jelasnya.
Pada keadaan normal, seni komunikasi datang secara alami dengan proses pengulangan ketika anak mendengar ucapan orang sekitar. Pada anak tunarungu, peniruan yang dilakukan adalah peniruan visual. Mereka mengamati tindakan orang tua dan orang terdekatnya. Mereka punya cara sendiri dalam memahami apa yang dilihat. Tetapi, mereka juga membutuhkan informasi serta penjelasan untuk kemudian dipahami dan direkam dalam otak.
Lantas, bagaimana cara memberikan penjelasan kepada mereka? Menurut Endah, orang tua tentu harus menguasai bahasa isyarat. Namun, sebaiknya menggunakan bahasa verbal atau ujaran. Sebab, di dunia nyata, masyarakat umumnya menggunakan bahasa verbal.
Hanya segelintir orang yang paham bahasa isyarat. Bahasa verbal pun harus diucapkan pelan-pelan. Sebab, anak-anak tunarungu membaca gerak bibir lawan bicaranya. Ditambah mimik wajah. Teknik penggabungan seperti itu biasa disebut komunikasi total.
Setiap orang tua mempunyai strategi dalam menggiring anak tunarungu untuk mandiri. Sikap yang dibutuhkan adalah saling terbuka, selalu bertukar pikiran, mendukung, serta menghargai perbedaan pendapat pasangan.
Suyetno, 43, dan Jumaiyah, 36, adalah salah satu pasangan orang tua yang mendukung kemandirian anak. ’’Kalau masalah diskusi, biasanya tentang pendidikan anak,’’ kata Jumaiyah.
Mereka menyatakan tidak selalu mengerti maksud anak saat bercerita sepulang sekolah. Namun, mereka selalu menanggapi dengan menunjukkan ekspresi positif. Misalnya, tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. Pasangan tersebut juga sering berkomunikasi dengan pihak sekolah. Sebaliknya, Abdul Bakir, 42, sengaja memperlakukan anaknya yang menyandang tunarungu dengan istimewa.
Nuri Fauziah MPsi Psi, psikolog yang juga pendiri tiga daycare di Surabaya, menyatakan, orang tua yang memperlakukan anak tunarungu secara spesial rawan berakibat manja. Bahkan berisiko mematikan indra lain. ’’Pasti, dari yang kurang, ada yang lebih juga. Cari, asah, optimalkan,’’ tegas psikolog kelahiran Tasikmalaya itu.
Dia juga menekankan, penting untuk menunjukkan empati saat orang tua berhadapan dengan anak tunarungu. ’’Jangan kasihan. Bantu sesuai usia dan kebutuhan,’’ tandasnya.

Sumber: Jawa Pos

Menulis Tangan dan Manfaatnya untuk Anak-Anak



’’Buat apa menulis lagi jika apa yang diterangkan bapak-ibu guru bisa difoto dan dibaca setiap saat. Lebih praktis dan tidak capek.’’ Bila pikiran itu sempat mampir di benak anak Anda, coba ulik lebih dalam tentang manfaat menulis tangan. Sebab, menulis tidak sesepele menyalin tulisan saja.
-----------------------------
SEBUAH perdebatan dimulai saat otoritas pendidikan nasional di Finlandia berencana menghapuskan pelajaran menulis halus bagi siswa sekolah dasar. Mereka menyatakan bahwa perubahan refleks tentang kemampuan mengetik saat ini lebih relevan daripada menulis tangan. Daily Mail mengungkapkan hasil penelitian bahwa anak-anak berusia lebih dari delapan tahun saat ini lebih cepat mengetik ketimbang menulis.
Para ahli yang setuju mendasarkannya atas teori teori automaticity. ’’Kuncinya bukan kualitas bentuk dan tipe tulisan, tapi lebih ke automaticity,’’ kata Musty Adoniou, senior lecture in language, literacy, & TESL Universitas Canberra. Semua orang sepakat bahwa setiap orang minimal bisa mengangkat pensil dan menulis pesan yang dimengerti orang lain. Jadi, kuncinya adalah pesan itu sampai atau tidak.
Berdasar teori automaticity, makin sedikit seseorang berkonsentrasi untuk membentuk huruf-huruf dengan benar, makin banyak ruang di otak yang tersisa. Tentu saja, ruang tersebut dapat dialihkan untuk menangkap dan mencerna pesan dengan baik. Teori tersebut tidak salah. Tetapi, menurut para ahli yang kontra, teori itu tidak bisa diterapkan sepenuhnya kepada anak-anak.
Yang penting dalam melanjutkan pelajaran menulis halus, menurut para ahli, adalah tidak menghapus kebiasaan menulis tangan di sekolah sepenuhnya. Sebab, menulis tangan memiliki banyak sekali manfaat untuk perkembangan otak anak-anak, baik secara fisik maupun mental.
Aniva Kartika SPsi MA, seorang psikolog pendidikan, menegaskan bahwa menulis tangan sangat dibutuhkan dalam tumbuh kembang seorang anak. ’’Pertama, ini melatih cara kerja otak dalam mengodekan huruf bahwa huruf tertentu bunyinya ini dan bentuknya begini. Anak mengingat dengan gerakan, bunyi, dan visual. Sangat berbeda dengan mengetik,’’ terangnya.
Memori tentang sesuatu makin menancap dengan menulis tangan. Itulah yang sudah banyak dibuktikan dalam hasil riset. ’’Ada kelompok yang disuruh mengetik dan ada yang disuruh menulis tangan. Kelompok kedualah yang berhasil mengingat dengan baik,’’ ujar Aniva.
Meski anak-anak berbeda tipe, baik kinestetis, auditori, maupun visual, proses belajar akan lebih maksimal jika ditempuh dengan berbagai jalur. Dengan menulis, anak-anak dilatih motorik dan keterampilan visual. Ada koordinasi mata dan tangan, kesadaran spasial, ketangkasan tangan dan jari, serta fungsi kognitif dan perkembangan otak yang ditingkatkan.
Selanjutnya, berdasar hasil riset yang diungkapkan Aniva, ada korelasi antara menulis tangan dan kemunculan ide-ide baru. ’’Ternyata, dengan menulis itu, ada aktivasi neuron-neuron yang lebih banyak untuk menstimulus ide-ide baru,’’ tutur dosen di Universitas Surabaya tersebut. Hasil riset itu adalah temuan Indiana University yang dirilis Daily Mail setelah mereka menguji dan melakukan scan MRI anak berusia lima tahun yang diberi tugas menulis tangan.
Natalia SPsi MM menambahkan, menulis tangan juga berfungsi untuk melatih ketahanan seorang anak. Siswa-siswa yang terbiasa dengan memotret papan tulis atau hanya meminta file bahan ajar bisa jadi adalah sebuah bentuk ketidaksabaran. ’’Dalam menulis, ada latihan kesabaran dan ketahanan. Bisa lebih telaten dan teliti. Ini menunjang perkembangan emosional mereka,’’ jelas psikolog yang juga kepala Mawar Sharon Christian School tingkat sekolah dasar tersebut.

Motorik Halus Dulu Baru Menulis

MENULIS tangan memang dianggap sebagai salah satu cara untuk melatih motorik halus. Namun, yang perlu dipahami, menulis merupakan tahap lanjut setelah berbagai latihan motorik halus lainnya dilakukan. ’’Sebelum menulis, ada banyak hal yang harus dirangsang dengan berbagai kegiatan. Misalnya, merobek, meremas, menjumput, mencocok, dan sebagainya. Menulis itu tahap akhir,’’ jelas psikolog Natalia.
Motorik halus meliputi pergelangan tangan hingga ujung jari jemari yang dipersiapkan sejak preschool. ’’Jadi, salah sekali memang jika sejak preschool sudah harus menulis. Padahal, motorik halusnya belum kuat,’’ imbuh Aniva. Kegiatan yang dilakukan bisa berupa merobek kertas, meremas playdough, menjepit, hingga mencocok.
Aniva memberi contoh pendekatan pembelajaran motorik halus yang dikenalkan Maria Montessori dengan kegiatan sehari-hari. ’’Misalnya berpakaian, mengancingkannya saja bisa melatih kecekatan jari jemari. Kemudian, ada teatime untuk melatih kekuatan tangan dan ketepatan agar tidak tercecer,’’ ucapnya. Jika itu saja belum terlatih, memegang pensil dan cara menulisnya pasti masih berantakan.

Sumber: Jawapos