Selamat datang di SUMBER PAUD. Temukan apa yang tidak bisa ditemukan di tempat lain!

Rabu, 30 Januari 2013

Lirikan Ditjen PAUDNI terhadap PNPM Generasi

JAKARTA. Berbagai “jurus” dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (Ditjen PAUDNI) untuk terus-menerus memperluas akses pendidikan anak usia dini (PAUD). Salah satunya mengupayakan PAUD menjadi salah satu indikator pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Generasi.
    “Masih ada 30.124 desa di Indonesia yang belum memiliki PAUD,” kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog saat melakukan pertemuan dengan pihak Bank Dunia, di kantor PNPM Support Facilities (PSF) Bank Dunia, Jakarta, Jumat (25/1).
    Ditegaskan oleh Lydia, yang juga akrab dipanggil Reni Akbar-Hawadi, PAUD merupakan persoalan yang masif.  Dari seluruh anak usia 3-6 tahun di Indonesia, baru 60,33 persen yang sudah mengakses PAUD. Di sisi lain, angka kelahiran yang tinggi membuat kebutuhan masyarakat akan perluasan akses PAUD semakin mendesak.
    “Setiap tahun, ada 3,4 juta bayi baru lahir di Indonesia. Sangat banyak,” kata Reni.
Diungkapkan pula oleh Reni, bahwa dana yang dimiliki PAUDNI untuk PAUD sangatlah terbatas. Tahun ini saja, anggaran untuk seluruh program PAUDNI dari APBN saja, hanya sebesar Rp2,4 triliun. Padahal, untuk mencapai target angka partisipasi kasar (APK) PAUD sebesar 75 persen pada tahun 2015, dibutuhkan dana Rp17 triliun.
    Hal inilah yang membuat banyak persoalan mengenai PAUD belum terselesaikan. Salah satunya, kata Reni, adalah kualitas pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) PAUD. Pendidik PAUD yang belum berpendidikan sarjana jumlahnya masih mendominasi. Menghadapi hal itu, Pemerintah pun telah mengupayakan pelatihan bagi PTK, akan tetapi jumlahnya tidak banyak. Saat ini masih ada sekitar 84 persen PTK PAUD yang belum mendapatkan pelatihan.
    Oleh karena itulah, Ditjen PAUDNI mengharapkan PNPM Generasi yang didukung oleh Kementrian Dalam Negeri serta difasilitasi PSF Bank Dunia ini dapat memasukkan PAUD sebagai salah satu indikator yang menjadi prioritas. Dengan demikian, bertambahlah mitra Ditjen PAUDNI dalam mengembangkan PAUD.
    Menanggapi hal itu, Social Development Sector Manager PSF Bank Dunia Jan Weetjens, menyambut baik. Ia menyatakan sangat mendukung hal ini. Ditimpali pula Social Development Specialist PSF Bank Dunia Robert Wrobel, bahwa angka partisipasi kasar (APK) pendidikan dasar di Indonesia sudah jauh lebih dibandingkan dengan APK PAUD. Ia pun sepakat, bahwa PAUD memerlukan dukungan untuk jauh lebih berkembang.
    Untuk itu, Bank Dunia mendorong Ditjen PAUDNI untuk duduk bersama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional  (Bappenas), serta institusi-institusi lainnya yang terlibat dalam kebijakan PNPM untuk mendiskusikan hal ini.
    “Saya pikir ada baiknya Kemdikbud bersama Bappenas, Kemdagri, Kementerian Keuangan untuk turun langsung ke lapangan melihat kondisi PAUD, kemudian membicarakan hal ini (memasukkan PAUD sebagai salah satu indikator PNPM Generasi-red),” kata Jan.

PNPM Generasi dan PAUD
    PNPM Generasi Sehat dan Cerdas, yang juga disebut sebagai PNPM Generasi merupakan bagian dari PNPM Mandiri, yakni program nasional yang dilaksanakan sejak tahun 2007-2015. PNPM Generasi menjadi program pendukung PNPM Mandiri Perdesaan untuk mempercepat pencapaian millennium development goals (MDG), terutama terkait dengan kesehatan ibu dan anak serta pelayanan pendidikan dasar.
    Sebenarnya, memasuki tahun 2012, Pemerintah tengah mengujicobakan kegiatan PAUD dalam program PNPM Generasi. Kegiatan ini dilaksanakan di Kabupaten Boalemo, Gorontalo dan Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
    Tujuan dari program ini adalah untuk membuka kesempatan bagi seluruh anak usia 0-6 tahun dalam mendapatkan layanan program PAUD melalui program PNPM Generasi. Uji coba ini diselenggarakan karena laporan lapangan menunjukkan tuntutan masyarakat untuk layanan PAUD semakin besar.
    Meskipun demikian, hingga saat ini PNPM Generasi belum dirancang hingga mencakup PAUD sebagai salah satu indikator kebutuhan prioritas. Terkait pendidikan, program ini baru memfokuskan pada wajib belajar. Akan tetapi, atas dasar permintaan serta kebutuhan masyarakat, sudah ada 1.872 lembaga PAUD yang terbantukan oleh program PNPM.
    Demikian pula dengan Bank Dunia, juga sudah memberikan bantuan kepada 120 PAUD yang letaknya tersebar di 51 kota/kabupaten di Indonesia. Jumlah bantuan diberikan sebesar Rp90 juta per lembaga. Bantuan itu diberikan bertahap selama tiga tahun. Program yang telah dimulai sejak tahun 2006 tersebut akan berakhir tahun ini. (Dina Julita/HK)

Sumber: http://www.paudni.kemdikbud.go.id/ditjen-paudni-lirik-pnpm-generasi-sebagai-mitra/

Sabtu, 19 Januari 2013

Guru PAUD disarankan untuk kuliah

MALANG. Masih banyak guru taman kanak-kanak (TK) yang belum sarjana. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (PAUDNI) mendorong para pendidik tersebut untuk kuliah di Universitas Terbuka.
    “Kuliah di Universitas Terbuka itu murah, cukup terjangkau tapi berkualitas. Dengan ini mereka bisa meningkatkan kompetensi,” kata Direktur Jenderal PAUDNI Prof. Dr. Lydia Freyani Hawadi, Psikolog seusai memberikan kuliah tamu mengenai kuliah kerja nyata (KKN) yang terintegrasi dengan Taman Posyandu di Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Rabu (16/1).
    Saat ini, dari 252.639 guru TK/TK luar biasa di Indonesia, masih ada 213.661 orang yang belum berpendidikan sarjana. Padahal, itu merupakan kualifikasi minimal pendidik untuk TK/TKLB.
    Ditekankan oleh Lydia, yang juga dikenal sebagai Reni Akbar-Hawadi,  anak usia dini membutuhkan penanganan khusus. Jika tidak, maka ini bisa mengganggu keoptimalan tumbuh kembang anak. Oleh karena itu perihal mendidik anak usia dini bukanlah persoalan sepele. Dibutuhkan kompentensi khusus untuk menjadi guru pendidikan anak usia dini (PAUD), termasuk TK.
    Selain mendorong untuk kuliah, Reni juga menyatakan bahwa Direktorat Jenderal PAUDNI juga memiliki program peningkatan mutu guru PAUD, yakni berupa beasiswa dan pemberian pelatihan. Tapi tentu saja, jumlahnya tidak bisa merangkul seluruh guru PAUD di tanah air. Akses terhadap program ini akan diberikan melalui seleksi.

Kuliah Kerja Nyata
    Sementara itu, saat memberikan kuliah tamu, Reni yang juga Guru Besar Universitas Indonesia ini menyatakan penghargaan kepada Universitas Muhammadiyah Malang yang telah mempelopori KKN Tematik PAUD di Taman Posyandu. Taman Posyandu adalah layanan PAUD yang terintergrasi dengan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) dan Bina Keluarga Balita (BKB), atau yang lebih dikenal sebagai Pos PAUD.
    Di samping itu, Reni juga mengingatkan para mahasiswa yang akan KKN di Taman Posyandu untuk membekali diri dengan baik. Berhadapan dengan anak usia dini dibutuhkan persiapan yang matang. “Sebelum terjun ke lapangan, perbanyak membaca buku, karena untuk mengasuh anak itu tidak mudah,” kata Reni.
    Dijelaskan Reni, salah satu yang harus dipahami oleh pendidik PAUD adalah psikologi perkembangan anak. Dengan itu maka pendidik akan mengerti perihal motorik kasar, motorik halus, dan banyak lainnya. “Untuk melatih motorik halus, misalnya, anak bisa diajak untuk meronce atau bermain puzzle,” ujar psikolog keberbakatan itu.
    Tapi tentu saja, satu hal yang “wajib” dimiliki pendidik PAUD adalah kemampuan bernyanyi dan menguasai lagu anak-anak. Ini adalah keterampilan yang tak bisa ditawar-tawar.
    “Ayo semua, kita bernyanyi,” ujar Reni, mencoba mengetes kepiawaian mahasiswa bernyanyi. Ruang Theater Dhome, tempat kuliah tamu itu pun lalu riuh rendah dengan nyanyian para mahasiwa. (Dina Julita/HK)

Sumber: http://www.paudni.kemdikbud.go.id/guru-tk-didorong-untuk-kuliah/

Minggu, 13 Januari 2013

Sepintas Kabar PAUD di Sulsel

Makassar (ANTARA News) - Realisasi jangkauan terhadap pendidikan anak usia dini di Sulsel baru sekitar 165 ribu orang anak dari target satu juta anak.

"Target tersebut diharapkan tercapai dalam kurun waktu enam tahun untuk menjangkau anak usia nol hingga enam tahun," kata Kepala Bidang Pendidikan Formal dan Informal, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulsel Djamal Abdi di Makassar, Senin.

Dia mengatakan, program PAUD tersebut mendapat alokasi anggaran dari pemerintah pusat melalui APBN. Khusus periode 2012 telah dikucurkan sebanyak Rp26 miliar untuk menjangkau 40 ribu orang anak.

Sementara anggaran PAUD pada 2013 yang bersumber dari APBN, diakui lebih rendah yakni Rp20 miliar. Dengan dana tersebut diprediksi hanya dapat menjangkau sekitar 35 ribu orang anak.

"Masih rendahnya capaian menjangkau anak untuk program PAUD, karena keterbatasan alokasi dana baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah setempat," katanya.

Mengenai penyaluran anggaran PAUD periode 2013, lanjut dia, direncanakan langsung ke kelompok belajar anak. Sementara peran Pemprov Sulsel melalui Dinas Pendidikan setempat, hanya bertugas mengawasi jalannya program itu.

Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah pusat telah menginstruksikan agar Pemda menyiapkan regulasinya, termasuk menyiapkan dana dukungan dari APBD.

"Sehingga pada 2015 mendatang, angka partisipasi kasar PAUD dapat mencapai 75 persen dari jumlah yang ditargetkan yakni satu juta orang anak," katanya.

Sumber: http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/44365/realisasi-paud-sulsel-baru-165-ribu-anak-

Elvera, Sang Pembuka Portal Literasi Anak-anak PAUD Indonesia Timur (Berita Inspiratif 1)

    Waktu itu, senja telah turun di Mataram. Kaki pun hendak melesat cepat seusai menapak turun dari anak tangga pesawat. Namun apa daya, hujan lebat yang terlampau kerap menyapa memaksa semua barang bawaan harus ditahan semalam.
    Esok harinya, di akhir November 2009, Elvera Nuriawati Makki melangkah menembus kabut. Sejurus kemudian, semuanya terbayar saat menyaksikan sorot puluhan pasang mata yang berbinar.
    Di sudut lain, hujan tadi malam menyisakan aroma basah pada rak kayu di depan sebuah teras rumah. Rak itu masih kosong dan menunggu untuk diisi. Vera –sapaan karibnya– memandangnya lega.
    Sambutan itu sudah melebih ekspektasi. Sekitar 34 bocah rela menanti perjalanan Vera dari pusat kota yang harus ditempuh dua jam dengan bermobil ke Batu Lawang, Desa Gelanggang, wilayah terpencil di Lombok Timur. ’’Itu untuk kali pertama saya menyinggahi PAUD Assajari,” cerita Vera saat ditemui Jawa Pos (grup Radar Lampung) di kediamannya The Green, Serpong, Tangerang, akhir pekan lalu (5/1).
    Senyum bocah 3-5 tahun itu langsung mengembang saat mereka menyaksikan Vera membuka barang bawaan penuh dengan tumpukan buku bacaan anak-anak. Tanpa banyak kata, para bocah itu berebut mengambil buku, lantas keheranan dengan isi yang ada di dalamnya. Gajah, jerapah, burung, dan ayam, dengan semburat merah, kuning, dan hijau, menyapa mereka dengan kata: Halo!
    Dalam kerumunan bocah itu, beberapa masih malu-malu menunjuk buku yang disuka. Ada pula yang agresif bertanya kepada pengasuh PAUD-nya, gambar apa ini dan itu. Ada yang rajin menyimak sang pengasuh membacakan cerita. Ada pula yang serius menyendiri dan membaca berjam-jam, tetapi ternyata bukunya terbalik.
    Gelak tawa menyeruak di ruang terbuka itu. Aksi sosial pertama Vera berhasil. Dia yang berambisi menumbuhkan budaya membaca sejak dini diterima dengan hangat. Kegiatan membaca buku dan mendongeng pun akhirnya dimasukkan ke dalam kurikulum PAUD Assajari, yang sebelumnya hanya bermain dan bernyanyi.
    Semangat yang meletup-letup ini semua berawal dari buku. Bagi Vera, membaca adalah kata lain berkomunikasi. Bagi balita, mungkin yang mereka butuhkan hanya gambar-gambar cerah yang menarik mata, yang di dalamnya ada personifikasi binatang-binatang yang mencoba berdialog dengan anak-anak. Namun, bagaimana jika tak semua bocah bisa menikmati buku yang kaya ilmu itu sesuai dengan usianya? Pada akhirnya anak-anak itu terpaksa membaca buku bekas kakak kelas, yang cenderung serius, dan tidak memicu kegembiraan membaca.
    Krisis buku bacaan untuk anak-anak ini secara nyata dialami wilayah-wilayah terpencil di Indonesia bagian timur (Intim). Banyak pertimbangan ekonomi di dalamnya. Faktor beratnya ongkos logistik membuat para distributor buku anak-anak lebih banyak enggan mengirimnya ke wilayah yang dihitung tak banyak mengeruk untung. Kalaupun ada yang sampai ke Intim, banderol buku cerita tipis si Kancil saja mungkin sudah puluhan ribu rupiah harganya. Dalam kondisi itu, masyarakat dengan nilai penghasilan yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari tak bakal mungkin mengalokasikan dananya untuk membeli buku bacaan anaknya.
    Lantaran itu, Vera yang sehari-hari menjadi deputy director corporate communication public affairs Mercedez-Benz Indonesia ini berkomitmen secara mandiri mendirikan Taman Bacaan Anak Lebah (TBAL). Kecintaannya kepada anak-anak dan budaya literasi memicunya rela menuju pelosok-pelosok Indonesia untuk membawa sendiri buku bacaan anak-anak itu.
    Pada mulanya, dia memilih Lombok Timur yang jarang terjamah, tak seperti bagian lain Pulau Lombok yang sarat pelancong dan wisatawan mancanegara. Untuk kali pertama ada empat titik PAUD yang dia rawat di Lombok. Hingga sekarang total ada 12 titik, yang di antaranya tersebar enam titik di Lombok, Pulau Seram (sebelah utara Pulau Ambon), Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan yang terbaru di Pulau Fordata (Kabupaten Maluku Tenggara Barat).
    ’’Perjalanan ke Fordata, naik pesawat dua jam dari Ambon menuju Saumlaki (ibu kota Kabupaten Pulau Yamdena). Lalu harus naik kapal lagi ke Fordata,” terang perempuan kelahiran Jakarta, 26 Mei 1976, tersebut.
    Tiap derap perjalanan, dia selalu mengunggahnya ke blog maupun jejaring sosial. Tak pelak, satu per satu terbukalah akses untuk mengirimkan buku ke wilayah yang paling membutuhkan. Salah satunya kelompok pengungsi yang lari dari konflik di Maluku dan Pulau Buru pada 1999 yang menewaskan banyak korban dan telah memusnahkan rumah dan harta benda. Mereka kini bermukim di Pulau Ambon. Anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan di pengungsian itu saat ini belajar dengan komunitas Gunung Mimpi.
    Pengiriman buku TBAL dilakukan dua kali dalam setahun. Tepatnya pada kisaran Mei-Juni dan November-Desember. Asumsinya, dalam tempo itu anak-anak tengah menikmati libur panjang semesternya. Dengan begitu, mereka bisa membunuh waktu dengan membaca. Para relawan, baik individu maupun komunitas, dengan suka cita membantu Vera mengirimkan buku.
    Vera menyandarkan diri pada sofa cokelat empuk saat memaparkan program sosial TBAL satu buku satu saudara. "Setiap pengirim buku bisa menaruh testimoninya untuk menjalin komunikasi dengan anak-anak yang membacanya," terang Vera yang mengenakan setelan rok putih dan kaus biru gelap. Alumnus University of Houston, Texas, AS, tersebut menjelaskan, pengurus PAUD selanjutnya akan mengirim laporan kegiatan hasil relawan. "Biasanya lebih cepat diunggah lewat Facebook. Kadang kalau e-mail terlalu rumit," terang Vera, lantas tertawa.
    Sejauh ini, istri Vandy R. Makki ini tak menemukan kendala yang berarti selain masalah logistik pengiriman yang memang membutuhkan perjuangan. Tak semua pengusaha logistik mau mengirimkan paket buku ke wilayah terpencil. "Saya pernah ngotot kepada jasa pengiriman karena saat itu mereka sulit menemukan letak salah satu PAUD di Sulawesi," terang ibu Vala, 9, dan Varen Makki, 5, tersebut.
    Kini sudah hampir empat tahun Vera menjalani aksi sosialnya. Setidaknya, dia harus menggelontorkan dana buku hingga logistik minus tiket pesawat perorangan mencapai Rp 40 juta dalam setahun untuk sepuluh titik yang dia rawat.
    Dua titik lainnya di Pulau Seram, dia bekerja sama dengan perusahaan Kalrez Petroleum Seram Ltd dan Citic Seram Energy Limited. Pada 2013, perempuan yang juga pernah menjadi jurnalis radio ini akan menambah dua titik PAUD lagi di Intim. "Ada rencana yang belum terealisasi, yakni di Papua," papar Vera yang sering mengajak suami dan dua anaknya untuk ikut bertualang ke pulau-pulau terpencil guna menebar hak para bocah membaca buku itu.

Sumber: http://www.radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/55530-elvera-buka-gerbang-literasi-anak-anak-paud-indonesia-timur

Prioritas untuk PAUD tahun ini, iya kah?

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menjanjikan program pendidikan bagi 1,35 juta anak usia dini menjadi salah satu prioritas dalam kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun yang akan datang. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh, dalam rapat kerja bersama anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Senin (10/9/2012), mengatakan, hal ini dilakukan karena jumlah anak berusia 3-6 tahun di Indonesia akan mencapai angka 40 juta anak.

Nuh menegaskan, Kemendikbud akan meningkatkan perhatian pada lembaga Pendidikak Anak Usia Dini (PAUD) dengan menyediakan dana Bantuan Operasional dan Perawatan (BOP) bagi 45 ribu lembaga PAUD yang ada.

"Tidak hanya bantuan operasional, Kementrian juga akan membangun lagi 50 unit PAUD terpadu dan merehabilitasi 100 lembaga PAUD yang dilaporkan dalam keadaan tidak baik," paparnya.

Nuh juga menambahkan pihaknya akan menyalurkan bantuan pada 13 ribu lembaga PAUD rintisan. Selain itu, bantuan juga diberikan untuk pendirian 260 ruang kelas baru PAUD, pemberian alat peraga edukasi bagi 2 ribu lembaga PAUD yang terdaftar, dan penguatan sarana kelembagaan bagi 16 ribu PAUD tersebut.

Pendidikan nonformal
Dalam pembahasan ini, anggota DPR komisi X Venna Melinda juga menyinggung anggaran PAUD senilai 2,8 Miliar juga harus mencakup pendidikan nonformal yang saat ini harus lebih diperhatikan lagi.

"Pendidikan non formal sekarang sedang marak dilaksanakan komunitas-komunitas yang belum atau tidak punya badan hukum. Sekolah anak jalanan, juga tolong diperhatikan karena miris sekali melihat kondisi mereka," kata mantan putri Indonesia itu.

Selama ini Venna mengamati komunitas pendidikan nonformal justru konsisten dalam menangani pendidikan di masyarakat.

"Beberapa kali saya pernah berkunjung ke sekolah sampah Bantar Gebang, komunitas sekolah Terminal Hujan Bogor, yang kadang berpindah-pindah tempat karena kehujanan itu sesuai namanya," ungkapnya.

"Paling baru Sekolah Darurat Kartini, sekolah ini juga sering berpindah-pindah tempat. Bagaimana punya badan hukum, kalau tempat aja masih belum tetap. Sebab, mereka punya hak untuk itu," tambahnya kemudian.

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/11/08170518/2013.Pemerintah.Bakal.Prioritaskan.PAUD 

Kamis, 10 Januari 2013

RSBI Dihapus, Tanya Kenapa?

   Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan terkait keberadaan sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI). Selama lebih dari satu tahun mengkaji gugatan terhadap RSBI, akhirnya pada Selasa (8/1/2013), MK secara sah menghapus RSBI karena dianggap tidak sesuai dengan konstitusi.
   Menanggapi itu, Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Provinsi DKI Jakarta Taufik Yudi Mulyanto mengimbau, seluruh masyarakat khususnya siswa dan orangtua siswa untuk tidak merasa khawatir. Pasalnya, penghapusan label RSBI di seluruh sekolah jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah tidak akan berdampak pada penurunan mutu pendidikan di seluruh sekolah.
   "Saya imbau siswa dan orangtua tetap tenang, yang dihapus label RSBI, bukan sekolahnya," kata Taufik kepada Kompas.com, Rabu (9/1/2013) pagi.
   Taufik menegaskan, pihaknya telah memiliki komitmen untuk tetap memberikan layanan pendidikan yang mengedepankan mutu dan keterbukaan akses. Untuk wilayah DKI Jakarta, jumlah sekolah berlabel RSBI mencapai 49 sekolah yang terdiri dari 8 SD RSBI, 15 SMP RSBI, 10 SMA RSBI, dan 15 SMK RSBI.
   "Putusan MK harus dihormati, Pak Gubernur juga setuju, dan itu menjadi acuan Dinas Pendidikan," ujarnya.
   Sebagai informasi, MK memutuskan kasus RSBI yang telah diajukan pada Desember 2011. Setelah menimbang dan melihat bukti serta keterangan, MK mengabulkan permohonan para penggugat. Dalam memutuskan kasus ini, MK telah mendengarkan keterangan penggugat yang mengajukan uji materi atas Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
   Tidak hanya itu, MK juga memeriksa bukti dan mendengarkan pendapat pemerintah dan anggota legislatif. Putusan ini dikeluarkan oleh MK setelah menimbang bahwa keberadaan RSBI tidak sesuai dengan konstitusi yang ada. Beberapa hal yang menjadi pertimbangan adalah biaya yang mahal mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan.
   Selain itu, pembedaan antara RSB dan non-RSBI menimbulkan adanya kastanisasi pendidikan. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam setiap mata pelajaran di sekolah RSBI juga dianggap dapat mengikis jati diri bangsa dan melunturkan kebanggaan generasi muda terhadap penggunaan dan pelestarian bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa.
   Materi yang digugat adalah Pasal 50 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini telah menjadi dasar hukum penyelenggaraan sekitar 1.300 sekolah berlabel RSBI. Dengan keputusan MK ini, berarti status RSBI harus dihapus dan penyelenggaraan satuan pendidikan berkurikulum internasional juga tak lagi diperbolehkan.

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2013/01/09/08160130/RSBI.Dihapus.Disdik.DKI.Orangtua.Harus.Tenang?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Senin, 07 Januari 2013

When a Zoo is More than Just a Zoo: Extending Children's Learning Activities
By Marie W. Sloane, M.S.T.

“Why do the children just play all day?” asks a parent. “How do you know if they are learning?” Teachers in child-centered classrooms are often asked these questions because parents (and administrators) sometimes have difficulty discerning whether real learning can take place without teachers using worksheets and children sitting at desks. As teachers abandon “refrigerator” art projects and holiday curricula in favor of following children’s interests, they must learn to explain what they are accomplishing, both to themselves and to others.
Do children “just play” all day? Yes and no. Teachers and children both generate ideas that guide learning in an emergent curriculum (Jones & Nimmo, 1994). Children actively follow their own interests by experimenting regularly, trying out new ideas, and representing what they are doing in many different ways. At the same time, the teacher’s role is extremely important. By acting as a facilitator and guide, the teacher helps transform simple play into active, hands-on learning (Bredekamp & Rosegrant, 1992). Children left alone to play will certainly discover new things independently. However, these same children working with a teacher to extend their activities learn a great deal more because they are challenged to develop knowledge and skills beyond what they can do on their own.

Extending Children’s Activities
How does one extend a child’s activities? The trick is to conduct interactions using three key questions:

·        What do I already know about this child?
·        What can I add to what he or she is doing?
·        What sort of feedback am I getting?

Question #1: What Do I Know?
Activity time is in full swing (note it is not called “play time” or “work time”). The hum of busy children fills the air. You cross the room moving toward the block area after helping Charlie get started at the easel. Sara is busily setting up blocks to form small enclosures. You hear her say, “Zoo. I’m makin’ a zoo.” Assuming you have the time to sit and work with Sara for a few minutes, you have the opportunity to extend Sara’s learning through play. Start by thinking about what you already know about the child and by asking yourself the following questions:
·        How long does this child usually stay with an activity?
·        What kind of depth will this child add on her own?
·        What does she know about this topic?
·        What are some new facts she might be ready to learn?
·        What does this child know about letters and numbers?
·        Is it appropriate to think about teaching her letters or numbers?
·        What other goals do you have for this child’s development?
If you cannot answer the bulk of these questions, you need to observe the child further and learn more about her current abilities and interests. If you have enough background information, think of the direction you and the child might go with play.

Question #2: What Can I Add?
You sit down next to Sara and comment on how hard you see her working. You ask her to tell you about what she is making. She explains that she is building a zoo.
“A zoo sounds interesting,” you reply. “What might go in a zoo?”
“Animals,” she says firmly as she gets up and brings over a bin of small animals.
“Oh, animals. What kind?” you ask.
“Tigers,” she says, placing two into one of her cages. “And lions, and bears, and gorillas...”
Sometimes asking children one or two simple questions about what they are doing will stimulate further thinking and help them add more depth and detail. As they pursue their ideas, you can move off and work with others. After a short time, ask yourself again, “What can I add?”
You return a few minutes later and ask, “How’s the zoo coming?” Sara is apparently finished adding animals.
“Fine,” she replies.
“What are you going to add next?” you ask, sensing that she is about at the end of her own ideas.
“I don’t know.”
“Well, what else do zoos have besides animals?” you probe.
“I don’t know,” she says again.
At this point you have a number of options. You could suggest getting a book and consulting the pictures to learn more. You could change the approach and suggest counting the animals or writing signs for the zoo, or you could suggest that she tell a story about her zoo. Deciding which avenue to pursue relies on thinking back through what you know about Sara and the goals you have for her. After you have chosen an approach and tried it out, ask yourself the final question.

Question #3:What Feedback Am I Getting?
“How about people?” you suggest. “Are there people at this zoo?”
“No,” she replies firmly. “This zoo is only for animals. No people even come to it.”
When a child responds negatively to an idea, let it go. You may have gone in a direction that has lost his or her interest, or you may have exceeded a child’s attention span for this activity. He or she may feel like saying “no” to a teacher! Pay attention to your third question, “What sort of feedback am I getting?” Try another approach.
“No people, I see. There are certainly a lot of animals. I wonder how many animals there are?”
“Well, I see two tigers,” Sara volunteers.
“Yes, two tigers. I see them too! I wonder if we could start there and count all of the animals?”
“Sure, one, two, three...” Sara counts up to 21 with your help, higher than she has ever counted before.
“Wow, 21 animals!” you exclaim. “That is great! I wonder if we could write that down so we can remember it?”
“Why not?” Sara says as she grabs a marker and the piece of paper you have strategically placed near the block area.
“What should we write?” you ask.
“Twenty-one,” she replies. “Write, ‘There are 21 animals in Sara’s zoo.’”You print her words in large letters.
“Sara!” she exclaims. “I see the part where you wrote my name!”
“Good reading,” you reply. “So, do you want to show your zoo to the rest of the class during Sharing Time?”
“Oh yes,” she answers. “Help me put my name on the list so everyone can see what I did!”
As you work with children to extend what they would have done on their own, you are helping them develop new knowledge and skills. However, as a facilitator of learning you should not take over completely. Instead, pay attention to the question, “What feedback am I getting?” and tailor your suggestions to each child. Their reactions to your ideas guide how far you pursue particular options. Following their interests, you help children increase their attention spans, add more depth to their work, and practice academic skills in meaningful contexts.

So, What Are They Learning?
Teachers in child-centered classrooms need to make special efforts to document and share children’s learning with parents and administrators. Take pictures of the children hard at work and with their finished creations. Post these photographs around the classroom with short explanations of what was learned. Show parents children’s work and explain skills a child practiced or knowledge that he or she gained. Invite administrators into your room to see you and the children in action. As you extend their activities, share the work that both you and the children are doing with others on a regular basis, and they will begin to understand the true value of emergent curriculum.

Marie W. Sloane, M.S.T., is the assistant director of The Little Ones Nursery School in Northbrook, IL. Her experience includes multiple years of designing, implementing, speaking, and writing about developmentally appropriate learning environments.

References
Bredekamp, S., & Rosegrant, T. (Eds.) (1992). Reaching potentials: Appropriate curriculum and assessment for young children. Washington, DC: NAEYC.
Jones, E., & Nimmo, J. (1994). Emergent curriculum. Washington, DC: NAEYC.

Sumber: http://www.earlychildhoodnews.com/earlychildhood/article_home.aspx?ArticleID=202

Kamis, 03 Januari 2013

PAUD Berpusat di Masjid

Mulai tahun ajaran 2013/2014, program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) akan diselenggarakan di masjid-masjid Indonesia. Kerjasama ini disepakati pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) RI bersama dengan Dewan Masjid Indonesia di gedung Kemdikbud, Jakarta, Selasa (20/11/2012).

Pemanfaatan masjid sebagai tempat pelayanan PAUD ini menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh, sangat efektif melihat sarana dan prasarana di tempat ibadah menunjang pendidikan karakter terutama pendidikan agama.

"Kalau PAUD dilaksanakan di masjid-masjid, urusan sikap sudah terbentuk disana, sebab masa kecil di masjid itu indah sekali. Pelajaran agama-nya live. Mereka bisa mendapatkan langsung pendidikan itu dari lingkungan masjid dan sekitarnya," ucap Nuh.

Dia menambahkan, nantinya akan ada alat-alat permainan edukasi, yang bisa merangsang pengembangan pendidikan mereka.

"Akan ada sarana pendukung yang dananya bersumber dari partisipasi Mendikbud, dan sebagiannya lagi dari DMI, karena kita sharing, berbagi," tambahnya.

Untuk itu, Mendikbud mengharapkan kerjasama ini akan mampu mendorong pengembangan partisipasi publik dalam penyelenggaraan PAUD di lingkungan masjid. Sehingga kekuatan pendidikan tidak semata-mata ada di tangan pemerintah, tetapi juga detak nadinya ada di dalam masyarakat.

"Kita bersama-sama disini, kalau kesadaran publik sudah muncul, maka proses pendidikan kita akan mudah," katanya.

Nuh juga meyakini, pendidikan masjid dan PAUD sejalan dengan penataan kurikulum yang sedang berlangsung saat ini, yaitu mengembangkan atttitude, skill, dan sekaligus knowledge.

Sumber:  http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/20/15362960/PAUD.Bakal.Dipusatkan.di.Masjid