Selamat datang di SUMBER PAUD. Temukan apa yang tidak bisa ditemukan di tempat lain!

Jumat, 16 November 2012

FAUNAKU

kucing putih yang lucu
lincah bermata biru
kejar tangkap mangsamu
tikus kecil pemalu
  ayam beranak lima
  gemuk-gemuk semua
  hati-hati di sana
  musang lewat menyapa
di teras ada kelinci
hobinya lompat tali
lihat asyik sekali
kuasa-Nya Ilahi

Bojonegoro, 1 Oktober 2012

Rabu, 24 Oktober 2012

BEKAL HARI TUA

hidup sekali untuk ibadah
jangan gunakan yang sia-sia
zakat puasa salat jamaah
jalankan haji dapat pahala
   taat kepada Tuhan
   sayang hamba-hambanya
   hindari godaan syetan
   jadi insan yang takwa
hidup sekali untuk ibadah
janganlah kita berfoya-foya
ikhlas beramal sabar qanaah
bisa 'tuk bekal di hari tua
   taat kepada Tuhan
   sayang hamba-hambanya
   hindari godaan syetan
   jadi insan yang takwa
 
Bojonegoro, 20 September 2012

Kamis, 16 Agustus 2012

Pendaftaran CPNS Kemdikbud 2012

   Bagi Anda yang berminat mendaftarkan diri sebagai CPNS Dosen di universitas yang bernaung dalam lingkungan Kemdikbud, Anda dapat apply di situs resmi CPNS Kemdikbud 2012. Di situs tersebut Anda pertama kali harus menyetor nomor KTP, nama (sesuai KTP), dan alamat email aktif Anda. Selanjutnya Anda akan menerima konfirmasi dari panitia. Tugas Anda berikutnya adalah mengecek email Anda dan mengklik link yang diberikan. Konfirmasi pendaftaran paling lambat diterima selama 1x24 jam.
  Jenis formasi CPNS dapat diamati di masing-masing web kampus. Misalnya, untuk lowongan CPNS UNY 2012, Anda musti mengecek di www.uny.ac.id/. Di UNY, untuk tahun 2012 ini, terdapat 2 formasi untuk dosen PAUD yang mungkin menjadi kualifikasi Anda.

Kamis, 09 Agustus 2012

Pemenang Lomba Pengembangan Desain Motif Batik Jonegoroan Tahun 2012

Sedikit melenceng dari tema PAUD, posting ini barangkali dapat memotivasi Anda warga Bojonegoro dan yang mengaku cinta Bojonegoro. Berikut ini adalah kelima nama pemenang Lomba Pengembangan Desain Motif Batik Jonegoroan Tahun 2012.

PENGUMUMAN LOMBA


NOMOR    :  83/ Sekr PKK/ Kab. BJN/ VII/ 2012
Sifat         : Penting
Lampiran   : -
Perihal      : Pengumuman Pemenang Lomba

Dengan telah berakhirnya Penilaian Lomba Pengembangan Desain Motif Batik Jonegoroan Tahun 2012, maka bersama ini kami mengumumkan Pemenang Lomba dimaksud untuk disebar luaskan. Adapun Pemenang Lomba sebagai berikut :

1. Fatma Shafira Nurul Ramadani (Jl. MH. Thamrin No. 98 Bojonegoro, SMPN 1 Bojonegoro), Judul Karya: Woh Rining Pisang
2.  Adinda Gabriella Asti I.S (Jl. MH. Thamrin No. 98 Bojonegoro, SMPN 1 Bojonegoro), Judul Karya:
Surya Salak Kartika
3.  Rosyidah N.F(Jl. MH. Thamrin No. 98 Bojonegoro, SMPN 1 Bojonegoro), Judul Karya:
Pelem - pelem Suminar
4.  Laily Sri Gunawati (Jl. Stasiun No.92 Kalitidu, Bojonegoro), Judul Karya: Sekar Rosella Jonegoroan
5.  Moh. Habib (Dsn. Lemahbang RT. 15/02 Ds. Margomulyo Kec. Balen, Bojonegoro), Judul Karya: Belimbing Lining Limo



                                                                                 TTD
                                                              Dra. Hj. MAHFUDHOH SUYOTO, M.Si

Note: Sesuai data pengiriman terakhir dari dinas terkait

 

Rabu, 01 Agustus 2012

Surat Rekomendasi (English Version)

A letter of recommendation is a letter in which the writer assesses the qualities, characteristics, and capabilities of the person being recommended in terms of that individual’s ability to perform a particular task or function. Recommendation letters are almost always specifically requested to be written about someone, and are therefore addressed to a particular requestor. Letters of recommendation are typically related to employment, admissions to institutions of higher education or scholarship eligibility.

Recommendation vs Reference

The term "recommendation letter" and reference is often same and used interchangeably with the term "reference letter"; however, there is a difference between the two types. Letters of recommendation are very specific in nature and normally requested/required and are always addressed to an individual, whereas letters of reference are more general in nature and are usually addressed "To Whom It May Concern".

Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Recommendation_letter
--------------------------


Example 1 (Letter of Recommendation)

To Whom It May Concern:

This letter is my personal recommendation for Cathy Douglas. Until just recently, I have been Cathy's immediate supervisor for several years. I found her to be consistently pleasant, tackling all assignments with dedication and a smile. Besides being a joy to work with, Cathy is a take-charge person who is able to present creative ideas and communicate the benefits. She has successfully developed several marketing plans for our company that have resulted in increased revenue. During her tenure, we saw an increase in profits that exceeded one million dollars. The new revenue was a direct result of the plans implemented by Cathy.
Though she was an asset to our marketing efforts, Cathy was also extraordinarily helpful in other areas of the company. In addition to writing effective training modules for sales representatives, Cathy assumed a leadership role in sales meetings, inspiring and motivating other employees.

I highly recommend Cathy for employment. She is a team player and would make a great asset to any organization.

Sincerely,

Sharon Feeney Marketing Manager ABC Productions

Example 2 (Letter of Recommendation)

To Whom It May Concern:

Carrie Youstis is an exceptional young lady. Most everyone knows of her intellectual acumen, lofty ambitions, dancing abilities, and kindness; indeed, she is a sort of legend in her small hometown of Southwest Plainsfield, NJ, but few know of the struggle Carrie endured during her middle years of high school. Carrie had a close friend, Kaya, whom she had met at summer camp. She and Kaya had grown very close during the first two years of high school. During the middle of tenth grade, Carrie received news that Kaya was suffering from a rare degenerative disease. It was terminal, Carrie was told but did not cry. She did not even take a moment to worry about how this might affect her. She simply called me, her principal, and asked if she could miss a few days of school, explaining to me the grave situation. I told her that, of course, she may miss school, provided that she make up her work. Then, before she hung up, Carrie asked me to pray on her friend's behalf, and said, “ I can go on without Kaya --­ I have many friends and I will mourn but I have a wonderful life. Kaya is suffering so much, though, and when it’ s all over, that will be it for her. And she is her mother’ s only child. How will she go on?” I was so impressed that Carrie was thinking about everyone affected except herself: Kaya, Kaya’ s mother, but not Carrie Youstis. Such maturity. Carrie knew she had a wonderful life, a belief in God, but she felt for others so profoundly. Carrie visited Kaya often for several months, always bringing her cards and flowers and of course, good cheer. Kaya finally passed away that Spring, and Carrie made sure to visit the mother every week that following summer.
You will read of Carrie's grades and scores and sports abilities, of her awards and accolades; I wanted to relate this episode, as it characterizes what this remarkable young lady is really all about. As she graduates high school, I and all of Southwest Plainsfield are so sad to see her go, but realize that she is destined to effect great things far beyond the narrow confines of a small town in New Jersey.

Sincerely,

Esti Iturralde
Principal, North Southwest Plainsfield High School

Sumber: http://businessmajors.about.com/od/samplerecommendations/a/RecSample9.htm

Kamis, 19 Juli 2012

Selamat & sukses!

Selamat dan sukses kepada para pendaftar program Pembibitan Alumni PTAI 2012. Semoga apa yang dicita-citakan dikabulkan dan diridhai oleh Allah SWT.

Senin, 09 Juli 2012

Ada Pembibitan Alumni PTAI...!!!

Diktis tahun ini akan mengadakan Program Pembibitan Alumni PTAI. Untuk info detailnya, sudah saya copy-kan surat edarannya dari sumber aslinya di sini.

Kamis, 28 Juni 2012

Konsep Belajar (2)

  Belajar, menurut para behavioris, adalah sesuatu yang dilakukan orang untuk merespons stimuli eksternal. Pandangan ini merupakan perubahan penting dari model-model sebelumnya yang menekankan pada kesadaran dan introspeksi, dan belum menghasilkan banyak temuan yang dapat digeneralisasikan tentang bagaimana orang belajar. Ingin tahu selanjutnya? Ulasan lebih detail bisa klik di sini.

Ingin tahu ukuran berat & kecepatan suatu blog?

  Dalam membuat blog tentunya kita ingin supaya blog kita tampil semenarik mungkin. Namun karena terlalu semangatnya kita dalam mempercantik blog, kadang-kadang kita sampai melupakan sesuatu yang penting, yaitu masalah berat (size) dan kecepatan (speed) berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuka blog kita.
  Walaupun blog kita bagus tapi kalau blog kita lama sekali dibukanya maka pengunjungpun jadi enggan untuk singgah di blog kita. Kita tentu pernah juga membuka suatu web/blog yang lama sekali, karena saking lamanya kita akhirnya tidak jadi membuka web/blog tersebut. Tentu kita tidak menginginkan hal itu kan? Di link ini dapat diketahui seberapa besar ukuran suatu blog berikut kecepatannya.

Sabtu, 09 Juni 2012

Kalau sudah besar, mau jadi apa?

  Pertanyaan di atas seringkali keluar saat saya duduk di pangkuan ayah, di waktu kecil. Tidaklah mengherankan memang jika ujaran itu acap kali dilontarkan oleh orangtua kepada anaknya. Karena masih terlihat lugu, sang ayah pun membimbing anaknya dengan mengajukan 2 opsi, orang pintar atau orang bodoh?
Tentu saja pilihan pertama yang saya ambil.
  Saat itu orang bodoh sering digambarkan dengan orang yang tidak berpakaian, lalu-lalang di jalan, juga tolah-toleh ke kiri dan ke kanan. Entah apa yang dicari. Mungkin ia sedang mencari ilmu, dengan caranya sendiri.
  Berbeda halnya dengan orang pintar. Karakter yang menjadi idaman banyak orang itu senantiasa merujuk kepada mereka yang berpakaian rapi, tidak kumuh, juga memiliki sorot mata yang tajam ke depan.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah bodoh dan pintar itu hanya untuk orang besar? Adakah frase "anak pintar" dan "anak bodoh"?
  Jika mengacu kepada Multiple Intelligence-nya Howard Gardner, jawaban yang paling mungkin dapat diterima adalah TIDAK ADA. Kenapa demikian? We all learn in different ways menurutnya adalah jawaban yang paling tepat.

Kamis, 07 Juni 2012

Cognitive Theories of Learning

Assumption: you can't force someone to learn
  Cognitive theory defines learning as "a semi-permanent change in mental processes or associations." Cognitivists do not require an outward exibition of learning but focus more on the internal processes and connections that take place during learning.
  The main assumption of cognitive psychology is that there are cognitive processes that take place and influence the way things are learned. Explanations for how cognitive processes work are known as information processing theories or models. The three-component model of information processing is taught in Educational Psychology. It looks something like this:
information processing model 
  Important classroom principles from cognitive psychology include meaningful learning, organization, and elaboration.
  Create an environment where there are lots of manipulatables, tools where they can develop an understanding. An instructor can ask questions to help students refine their thinking and recognize where they may be wrong.
  Failure may be considered a good thing as it is a tool to help learners realize that they need to learn more.


Sumber: http://www.innovativelearning.com/educational_psychology/cognitivism/index.htm

Senin, 04 Juni 2012

Constructivist Theory (Jerome Bruner)

  A major theme in the theoretical framework of Bruner is that learning is an active process in which learners construct new ideas or concepts based upon their current/past knowledge. The learner selects and transforms information, constructs hypotheses, and makes decisions, relying on a cognitive structure to do so. Cognitive structure (i.e., schema, mental models) provides meaning and organization to experiences and allows the individual to "go beyond the information given".
  As far as instruction is concerned, the instructor should try and encourage students to discover principles by themselves. The instructor and student should engage in an active dialog (i.e., socratic learning). The task of the instructor is to translate information to be learned into a format appropriate to the learner's current state of understanding. Curriculum should be organized in a spiral manner so that the student continually builds upon what they have already learned.
  Bruner (1966) states that a theory of instruction should address four major aspects: (1) predisposition towards learning, (2) the ways in which a body of knowledge can be structured so that it can be most readily grasped by the learner, (3) the most effective sequences in which to present material, and (4) the nature and pacing of rewards and punishments. Good methods for structuring knowledge should result in simplifying, generating new propositions, and increasing the manipulation of information.
  In his more recent work, Bruner (1986, 1990, 1996) has expanded his theoretical framework to encompass the social and cultural aspects of learning as well as the practice of law.

Application

  Bruner's constructivist theory is a general framework for instruction based upon the study of cognition. Much of the theory is linked to child development research (especially Piaget ). The ideas outlined in Bruner (1960) originated from a conference focused on science and math learning. Bruner illustrated his theory in the context of mathematics and social science programs for young children (see Bruner, 1973). The original development of the framework for reasoning processes is described in Bruner, Goodnow & Austin (1951). Bruner (1983) focuses on language learning in young children.
  Note that Constructivism is a very broad conceptual framework in philosophy and science and Bruner's theory represents one particular perspective. For an overview of other Constructivist frameworks, see http://carbon.cudenver.edu/~mryder/itc_data/constructivism.html.

 

Example

  This example is taken from Bruner (1973):
"The concept of prime numbers appears to be more readily grasped when the child, through construction, discovers that certain handfuls of beans cannot be laid out in completed rows and columns. Such quantities have either to be laid out in a single file or in an incomplete row-column design in which there is always one extra or one too few to fill the pattern. These patterns, the child learns, happen to be called prime. It is easy for the child to go from this step to the recognition that a multiple table , so called, is a record sheet of quantities in completed mutiple rows and columns. Here is factoring, multiplication and primes in a construction that can be visualized."

 

Principles

  1. Instruction must be concerned with the experiences and contexts that make the student willing and able to learn (readiness).
  2. Instruction must be structured so that it can be easily grasped by the student (spiral organization).
  3. Instruction should be designed to facilitate extrapolation and or fill in the gaps (going beyond the information given).

 

References

Bruner, J. (1960). The Process of Education. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Bruner, J. (1966). Toward a Theory of Instruction. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Bruner, J. (1973). Going Beyond the Information Given. New York: Norton.
Bruner, J. (1983). Child's Talk: Learning to Use Language. New York: Norton.
Bruner, J. (1986). Actual Minds, Possible Worlds. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Bruner, J. (1990). Acts of Meaning. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Bruner, J. (1996). The Culture of Education, Cambridge, MA: Harvard University Press.
Bruner, J., Goodnow, J., & Austin, A. (1956). A Study of Thinking. New York: Wiley.

 

Related Websites

More about Bruner can be found at:
http://www.infed.org/thinkers/bruner.htm
http://www.psych.nyu.edu/bruner

Sumber: http://www.instructionaldesign.org/theories/constructivist.html

Kamis, 31 Mei 2012

Behaviorism. What's that?

Behaviorism
  Behaviorism is a worldview that assumes a learner is essentially passive, responding to environmental stimuli. The learner starts off as a clean slate (i.e. tabula rasa) and behavior is shaped through positive reinforcement or negative reinforcement. Both positive reinforcement and negative reinforcement increase the probability that the antecedent behavior will happen again. In contrast, punishment (both positive and negative) decreases the likelihood that the antecedent behavior will happen again. Positive indicates the application of a stimulus; Negative indicates the withholding of a stimulus. Learning is therefore defined as a change in behavior in the learner. Lots of (early) behaviorist work was done with animals (e.g. Pavlov’s dogs) and generalized to humans.
  Behaviorism precedes the cognitivist worldview. It rejects structuralism and is an extension of Logical Positivism.

Radical behaviorism
  Developed by BF Skinner, Radical Behaviorism describes a particular school that emerged during the reign of behaviorism.  It is distinct from other schools of behaviorism, with major differences in the acceptance of mediating structures, the role of emotions, etc.

Sumber: http://www.learning-theories.com/behaviorism.html

Minggu, 27 Mei 2012

APA KABAR KAWAN

Apa kabar hai kawan
Selamat pagi semua
Mari kita kenalan
Tuk menambah saudara
Salaman satu-satu
Tanya hoby juga perlu
OK mari kenalan

Lagu di atas tercipta pada 17 Mei 2012 di tanah kelahiran penulis, Bojonegoro.

KONSEP BELAJAR


Belajar bagi seorang insan adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Seseorang bisa pintar karena pada awalnya ia belajar. Suatu individu bisa mahir disebabkan oleh belajar. Namun apa sebenarnya definisi dari belajar?  
   Kimble mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif permanen di dalam potensi behavioral (behavioral potentiality) yang terjadi sebagai akibat dari praktik yang diperkuat (reinforced practice).
   Belajar adalah perubahan perilaku atau potensi perilaku yang relatif permanen yang berasal dari pengalaman dan tidak bisa dinisbahkan ke keadaan tubuh temporer (temporary body states) seperti keadaan yang disebabkan oleh sakit, keletihan atau obat-obata (Hergenhahn & Olson: 2008).
   Ada pengertian lain mengenai belajar yang patut dicermati. Dalam Richard E. Mayer (2008) disebutkan bahwa learning is defined as a relatively permanent change in someone’s knowledge based on the person’s experience. This definition has three parts:
  1. Learning is long-term rather than shor-term, such as learning how to use a word processing program. A change that disappears after a few hours does not reflect learning.
  2. Learning involves a cognitive change that is reflected in a behavioral change, such as changing from not knowing to knowing the procedure for erasing a word in a word processing program. If there is no change, then no learning occured.
  3. Learning depends on the experience of the learner, such as reading a word processing manual. A change that occurs solely because of a psychological state—such as being tired, hitting one’s head, or taking a mind-altering drug—is not an example of learning. Furthermore, it depends not on what is done to the learner, but rather than on how the learner interprets what happens; that is, it depends on the learner’s personal experience.
Three metaphors of learning:
  1. Learning as response strengthening—the idea that learning involves adding new responses to an ever-growing collection—is a mechanical process in which successful responses to a given situation are automatically strengthened and unsuccessful responses to the situation are weakened. In this way, learning is like strengthening or weakening the association between a stimulus (S) and a response (R).
  2. Learning as knowledge acquisition—the idea that learning involves transfering knowledge from teacher’s head to the student’s head—occurs when information is transferred from a more knowledgeable person (such as a teacher) to a less knowledgeable person (such as a student).
  3. Learning as knowledge construction—the idea that students actively create their own learning by trying to make sense out of their experiences—occurs when people select relevant information, organize it into a coherent structure, and interpret it through what they already know.

Kamis, 24 Mei 2012

AKU SUDAH BESAR


Ibu, aku sudah besar
Aku tidak nangis lagi
Ibu, aku sudah besar
Sudah bisa pipis sendiri
Oh ibu, aku sudah besar
Aku ingin terus belajar
Oh ibu, aku sudah besar
Kuingin jadi anak pintar...

Lagu di atas terinspirasi oleh anak-anak (yang dianggap) masih kecil dan sedang bermetamorfosis menjadi anak (yang bisa dianggap) besar.

INQUIRY-DISCOVERY DALAM PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI

Pembelajaran Anak Usia Dini
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa/anak, baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung, yakni dengan menggunakan berbagai media pembelajaran.[1] Proses pembelajaran di PAUD pada umumnya dilandasi oleh dua teori belajar, yaitu behaviorisme dan konstruktivisme. Kedua aliran tersebut memiliki karakteristik berbeda. Aliran pertama menitikberatkan pada hasil dari proses belajar, yang kedua menekankan pada proses belajar itu sendiri.[2]
Sementara terkait dengan metode pembelajaran, ada beberapa metode yang dapat diterapkan di PAUD: (1) metode bermain, (2) metode karyawisata, (3) metode bercakap-cakap, (4) metode bercerita, (5) metode demonstrasi, (6) metode proyek, dan (7) metode pemberian tugas.[3]

Model Pembelajaran
Pada proses penerapannya, istilah-istilah seperti model, pendekatan, strategi, metode, teknik, dan sebagainya sangatlah familiar dalam lingkup pembelajaran. Akan tetapi istilah-istilah tersebut seringkali kemudian menyebabkan timbulnya kebingungan pada sebagian orang.
Model pembelajaran, menurut Joyce & Weil, adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya.[4]
Berdasarkan teorinya, pembelajaran dikategorikan menjadi beberapa model. Di antaranya:
1.      Model interaksi sosial
2.      Model pemrosesan informasi
3.      Model personal
4.      Model behavioral (modifikasi tingkah laku)[5]
Selanjutnya Rusman menerangkan bahwa terdapat strategi pembelajaran untuk masing-masing model tersebut. Salah satu dari keempat model tersebut, yakni model pemrosesan informasi meliputi strategi pembelajaran seperti: (1) mengajar induktif, (2) latihan inquiry, (3) inquiry keilmuan, (4) pembentukan konsep, (5) model pengembangan, dan (6) advanced organizer model.[6] Sedikit uraian mengenai inquiry—berikut istilah yang seringkali menjadi padanannya, yakni discovery—dapat dilihat pada poin berikut.

Inquiry
Strategi pembelajaran inkuiri (SPI) menekankan pada proses mencari dan menemukan. Materi tidak diberikan secara langsung. Peran anak dalam strategi ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing anak untuk belajar.[7]
SPI banyak dipengaruhi oleh aliran belajar kognitif. Menurut aliran ini belajar pada hakikatnya adalah proses mental dan proses berpikir dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki setiap individu secara optimal. Belajar lebih dari sekadar menghafal dan menumpuk ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan yang diperolehnya bermakna untuk anak melalui keterampilan berpikir. Masih menurut teori ini, belajar pada hakikatnya bukan peristiwa behavioral yang dapat diamati, tetapi proses seseorang untuk memaknai lingkungannya sendiri. Proses mental inilah yang sebenarnya aspek yang sangat penting dalam perilaku belajar itu sendiri.[8]
Teori belajar lain yang mendasari SPI adalah teori belajar konstruktivistik. Teori ini dikembangkan oleh Piaget. Menurutnya, pengetahuan itu akan bermakna manakala dicari dan ditemukan sendiri oleh anak. Sejak kecil, menurut Piaget, setiap individu berusaha dan mampu mengembangkan pengetahuannya sendiri melalui skema yang ada dalam struktur kognitifnya. Skema tersebut secara terus-menerus diperbarui dan diubah melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dengan demikian, tugas guru adalah mendorong anak untuk mengembangkan skema yang terbentuk melalui kedua proses tersebut.[9]
SPI adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan anak. Strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein, berarti saya menemukan.[10]
Ciri-ciri utama pembelajaran inkuiri sendiri dapat diamati melalui pembacaan aspek-aspek berikut.
1.  Menekankan kepada aktivitas anak secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi ini menempatkan anak sebagai subyek belajar. Anak tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
2.      Seluruh aktivitas anak diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri. Guru di sini sebagai fasilitator dan motivator belajar anak. Aktivitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan anak. Jadi kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri.
3.      Tujuan penggunaan SPI adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Anak tidak hanya dituntut untuk menguasai materi, tetapi ia diarahkan pula untuk dapat menggunakan segala potensinya.[11]
SPI merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada anak (student centered approach). Dikatakan demikian karena dalam strategi ini anak memegang peran yang sangat dominan dalam proses pembelajaran.[12]
Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan anak untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.[13]
Rujukan lain menekankan bahwa inquiry (menemukan) merupakan kegiatan inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dari keterampilan yang diperoleh anak bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan apapun materi yang diajarkannya.[14]
Joyce mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi anak, yaitu:
  1. Aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang anak berdiskusi;
  2. Berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan
  3. Penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan realibilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis.[15]
Sementara itu Syaiful Sagala menuturkan bahwa pendekatan inquiry dapat dilaksanakan apabila syarat-syarat berikut dipenuhi.
1.  Guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas (persoalan bersumber dari bahan/materi yang menantang/problematik)
2.  Guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar anak dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan
3.      Adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup
4.      Adanya kebebasan anak untuk berpendapat, berkarya, berdiskusi
5.      Partisipasi setiap anak dalam kegiatan belajar
6.      Guru tidak banyak campur tangan dan intervensi terhadap kegiatan anak[16]
Kemudian SPI akan efektif tatkala:
  1. Guru mengharapkan anak dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Penguasaan materi bukan tujuan utama, tetapi yang lebih dipentingkan adalah proses belajar.
  2. Bahan pembelajaran tidak berbentuk fakta atau konsep yang sudah jadi, akan tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian.
  3. Proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu anak terhadap sesuatu.
  4. Guru akan mengajar pada sekelompok anak yang rata-rata memiliki kemauan dan kemampuan berpikir. SPI akan kurang berhasil diterapkan kepada anak yang kurang memiliki kemampuan untuk berpikir.
  5. Jumlah anak yang belajar terlalu banyak sehingga bisa dikendalikan oleh guru.
  6. Guru memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat pada anak.[17]
Dalam praktiknya, guru dituntut untuk tidak mengabaikan prinsip-prinsip penggunaan SPI berikut.
  1. Berorientasi pada pengembangan intelektual
  2. Prinsip interaksi
  3. Prinsip bertanya
  4. Prinsip belajar untuk berpikir
  5. Prinsip keterbukaan[18]
Adapun urutan langkah-langkah pelaksanaan SPI secara umum meliputi: (1) orientasi, (2) merumuskan masalah, (3) mengajukan hipotesis, (4) mengumpulkan data, (5) menguji hipotesis, dan (6) merumuskan kesimpulan.[19]
Keenam langkah tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Riyanto. Dengan istilah yang sedikit berbeda, ia menggunakan kata Siklus Inquiry yang mencakup urutan observation, questioning, hypothesis, data gathering, conclusion.[20]
Sementara itu, berhubungan dengan langkah-langkah di atas Amri dan Ahmadi menjelaskan bahwa kemampuan yang dituntut menurut tahapan-tahapan inkuiri berupa:
  1. Merumuskan masalah. Kemampuan yang dituntut: kesadaran terhadap masalah, melihat pentingnya masalah, merumuskan masalah.
  2. Mengembangkan hipotesis. Kemampuan yang dituntut: menguji dan menggolongkan yang dapat diperoleh, melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis, dan merumuskan hipotesis.
  3. Menguji jawaban tentatif. Kemampuan yang dituntut:
a.    Merakit peristiwa, terdiri dari: mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data.
b. Menyusun data, terdiri dari: mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengklasifikasikan data.
c.  Analisis data, terdiri dari: melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan tren, sekuensi, dan keteraturan.
  1. Menarik kesimpulan. Kemampuan yang dituntut:
a.       Mencari pola dan makna hubungan
b.      Merumuskan kesimpulan
  1. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi.[21]
Selanjutnya guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja kelompok.[22]
Runtutan penerapan SPI sebagaimana tergambar di atas ternyata tidak semudah apa yang dibayangkan. Berbagai kesulitan pun muncul ketika guru harus menerapkan strategi tersebut. Di antara kesulitan-kesulitan yang dihadapi adalah:
  1. Karena SPI menekankan kepada proses, guru yang sudah terbiasa menekankan kepada hasil belajar akan kesulitan, bahkan keberatan untuk mengubah pola mengajarnya.
  2. Sejak lama telah tertanam dalam budaya belajar anak bahwa belajar pada dasarnya adalah menerima materi dari guru. Dengan demikian bagi mereka guru adalah sumber belajar yang utama. Dengan kondisi seperti itu, anak akan sulit diajak memecahkan persoalan. Anak juga akan sulit disuruh untuk bertanya.
  3. Guru kebingungan antara penerapan pembelajaran yang mementingkan kepada proses atau kepada hasil.[23]
Terlepas dari perdebatan mengenai kesulitan-kesulitan tersebut, SPI juga memiliki keunggulan dan kelemahan. Di antara keunggulannya adalah:
  1. SPI merupakan strategi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui strategi ini dianggap lebih bermakna.
  2. SPI dapat memberikan ruang kepada anak untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka.
  3. SPI merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
  4. SPI dapat melayani kebutuhan anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Anak yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh anak yang lemah dalam belajar.
Sementara kelemahan yang dimiliki dari penerapan strategi pembelajaran inkuiri adalah:
  1. Jika SPI digunakan sebagai strategi pembelajaran, maka akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan anak.
  2. SPI sulit dalam merencanakan pembelajaran karena terbentur dengan kebiasaan anak dalam belajar.
  3. Dalam penerapannya, kadang-kadang memerlukan waktu yang cukup panjang, sehingga guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan.
  4. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan anak menguasai materi pelajaran, maka SPI akan sulit diterapkan oleh setiap guru.[24]
Setelah mengetahui kelebihan dan kelemahan SPI, hendaknya guru dapat mengantisipasi jika ingin menerapkan strategi tersebut, sehingga kekurangan dalam pelaksanaannya dapat tertutupi. Kemudian istilah inquiry terkadang disepadankan dengan discovery. Istilah pertama sudah mafhum dan telah dibahas, sedangkan untuk lebih jelasnya mengenai istilah yang kedua dapat disimak melalui pembahasan berikut.


Discovery
Discovery adalah proses mental di mana anak mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut antara lain adalah mengamati, mencerna, mengerti, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Suatu konsep misalnya segitiga, panas, demokrasi, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud prinsip misalnya logam apabila dipanaskan akan mengembang. Dalam teknik ini anak dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri. Guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Di antara caranya adalah dengan tukar pendapat, diskusi, seminar, membaca dan mencoba sendiri, sehingga anak dapat belajar sendiri. Dengan teknik ini guru berusaha meningkatkan aktivitas anak dalam proses belajar mengajar.[25]
Terdapat beberapa keunggulan dari kegiatan discovery yang dapat dijabarkan sebagaimana berikut.
  1. Membantu anak untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan anak.
  2. Anak memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa anak tersebut.
  3. Membangkitkan kegairahan belajar anak.
  4. Memberikan kesempatan kepada anak untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
  5. Mampu mengarahkan cara anak belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat.
  6. Membantu anak untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri.
  7. Strategi berpusat pada anak, bukan pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar, membantu bila diperlukan.[26]
Sementara kelemahan dari kegiatan discovery dapat diamati dari serentetan poin berikut.
  1. Pada anak harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini. Anak harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
  2. Bila kelas terlalu besar, penggunaan teknik ini akan kurang berhasil.
  3. Bagi guru dan anak yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik penemuan.
  4. Ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi anak.
  5. Teknik ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berpikir secara kreatif.[27]
Strategi belajar discovery paling baik dilaksanakan dalam kelompok belajar kecil. Namun ia dapat juga dilakukan dalam kelompok belajar yang lebih besar. Meskipun tidak semua anak dapat terlibat dalam proses discovery, namun pendekatan ini dapat memberikan manfaat bagi anak yang belajar. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dalam bentuk komunikasi satu arah ataupun dua arah, bergantung pada besarnya kelas.[28]
1.      Sistem satu arah (ceramah reflektif)
Pendekatan satu arah artinya penyajian satu arah (penuangan/exposition) yang dilakukan guru. Struktur penyajiannya dalam bentuk usaha merangsang anak melakukan proses discovery di depan kelas. Guru mengajukan suatu masalah dan kemudian memecahkan masalah tersebut melalui langkah-langkah discovery. Caranya adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kelas, memberikan kesempatan kepada kelas untuk melakukan refleksi. Selanjutnya guru menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu. Dalam prosedur ini guru tidak menentukan/menunjukkan aturan-aturan yang harus digunakan oleh anak, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan guru mengundang anak untuk mencari aturan-aturan yang harus diperbuatnya. Pemecahan masalah berlangsung selangkah semi selangkah dalam urutan yang ditemukan sendiri oleh anak. Guru mengharapkan agar anak secara keseluruhan berhasil melibatkan dirinya dalam proses pemecahan masalah, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya secara reflektif. Penggunaan discovery dalam kelompok kecil sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman guru sendiri, serta waktu dan kemampuan mengatasi kesulitan anak.
2.      Sistem dua arah (discovery terbimbing)[29]
Ada yang menyebut discovery learning sebagai belajar inkuiri (inquiry learning), yaitu suatu kegiatan belajar yang mengemukakan aktivitas anak. Inkuiri menekankan kepada proses mencarinya, sedangkan discovery menekankan kepada penemuannya. Anak yang melakukan kegiatan pencarian, apalagi yang sistematis dan teratur, kemungkinan besar akan menemukan sesuatu, sedangkan penemuan pada hakikatnya adalah suatu hasil dari proses pencarian. Strategi jenis ini memadukan konsep psikologi naturalistik romantik dan kognitif-gestalt.
Dalam strategi ini, bentuk bahan ajar tidak dijadikan sebagai bahan jadi, tetapi dapat berupa bahan setengah jadi, bahkan bahan seperempat jadi. Bahan pembelajaran dinyatakan sebagai rangkaian pertanyaan terstruktur yang harus dijawab oleh anak. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, anak nantinya tidak saja mendapatkan pemahaman menyeluruh terhadap suatu obyek kajian, tetapi pemahamannya juga dikembangkan secara bertingkat, sampai kemudian, …aha, aku telah menemukan! Berbeda dengan pendekatan behaviorisme di mana jawaban dari suatu pertanyaan merupakan jawaban tunggal yang pasti benar.[30]
Dalam pembelajaran penemuan ada sejumlah alternatif jawaban dengan nuansa perbedaan yang tipis, dalam hal ini tingkat kedewasaan atau kematangan struktur kognitif anak yang akan mampu membedakan. Dimungkinkan juga jawaban dari pertanyaan tersebut berupa jawaban hipotetik yang harus dibuktikan lebih lanjut kebenarannya.[31]
Beberapa metode pembelajaran yang termasuk dalam strategi discovery di antaranya: pembelajaran yang menggunakan lingkungan, pengamatan, percobaan, dan pemecahan masalah.[32]


Implementasi Inquiry-Discovery dalam Pembelajaran Anak Usia Dini
Pada pembahasan awal telah dipetakan masing-masing dari inquiry dan discovery. Kedua istilah tersebut sesungguhnya memiliki persamaan, sehingga tidak heran jika terkadang kedua kata itu dipertukarkan. Persamaan antara keduanya dapat dilihat melalui uraian berikut.
Ø  Sama-sama mencakup proses mencari dan menemukan
Ø  Guru bertindak sama, yakni sebagai fasilitator dan pembimbing
Ø  Kedua strategi ini berpusat pada anak (student/children centered)
Ø  Contoh penerapannya adalah melalui diskusi/tanya jawab
Ø  Kurang efektif untuk kelas besar
Selanjutnya berikut ini adalah penjabaran mengenai implementasi dari model inquiry-discovery pada ranah PAUD.
Telah disinggung di awal bahwa di antara metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses penerapan inquiry-discovery adalah pembelajaran yang menggunakan lingkungan, pengamatan, percobaan, dan pemecahan masalah.
Pembelajaran yang menggunakan lingkungan akan sangat berkaitan dengan pendidikan berwawasan lingkungan. Pendidikan ini bertujuan membentuk perilaku, nilai, dan kebiasaan untuk menghargai lingkungan. Pembelajarannya akan cenderung outdoor (di luar ruangan). Pada tataran praktis, anak dikenalkan sejak dini tentang lingkungannya, terutama konteks di mana anak berada. Anak juga diajak untuk merasakan langsung bahwa ia adalah bagian dari lingkungan. Di lingkungannya, anak dapat diarahkan untuk mengamati kemudian membedakan benda hidup dan benda mati.
Pembelajaran dengan lingkungan sebagai sumber belajar merupakan bentuk tantangan terhadap pola pembelajaran yang selama ini berkutat di dalam kelas (indoor). Di lingkungannya, anak dapat lebih bebas bersosialisasi dengan anak sebaya, orang dewasa, pun juga dengan binatang, tumbuhan, atau dengan makhluk hidup lainnya. Dengan pembelajaran ini anak dapat menemukan perbedaan antara dia dengan anak-anak lainnya, begitu juga dengan dunia sekitarnya. Dengan rasa ingin tahunya yang luar biasa, anak dapat diajak berpetualang untuk mendapatkan segala sesuatu yang baru. Anak sangat senang mencoba baik dengan cara memegang, memakan atau melempar benda-benda dan minat yang kuat untuk mengamati lingkungan.
Lingkungan sendiri sebagai sumber belajar dapat diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup—termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya serta makhluk hidup lainnya, sehingga memungkinkan anak usia dini untuk belajar tentang informasi, orang, bahan, dan alat. Lingkungan itu terdiri dari unsur-unsur makhluk hidup, benda mati, dan budaya manusia.[33] Pada proses pembelajaran, misalnya, anak-anak dapat dirangsang untuk menjawab pertanyaan tentang berapa jumlah temannya yang laki-laki dan berapa yang perempuan. Di samping itu anak juga dapat diberi stimulus untuk membedakan ukuran bebatuan, jenis binatang ternak, dan lain-lain.
Pembelajaran yang menggunakan metode percobaan dapat dicontohkan proses penerapannya oleh anak-anak dengan berlatih mencampur warna (dengan bahan cat tembok sederhana). Dengan cara seperti itu, anak akan menemukan warna hijau ketika ia telah mencampur cat warna kuning dengan warna biru. Warna orange dapat diperoleh dengan mencampur cat merah dengan cat kuning. Eksperimen lain yang dapat ditempuh adalah percobaan untuk menemukan konsep panjang dan pendek (dengan dua/lebih potongan kayu), tinggi dan rendah (aliran air dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah), dan sebagainya.
Pembelajaran untuk pemecahan masalah dapat dilakukan dengan pemberian masalah sederhana kepada anak. Misalnya, dengan permainan balok, anak diberi rangsangan untuk menyelesaikan bagaimana meletakkan balok segitiga, segiempat, segilima, atau lingkaran, ke tempatnya masing-masing. Selain itu, dengan pola pembelajaran kooperatif anak-anak akan terlihat bentuk kerjasamanya ketika mereka diberi seutas tali untuk memindahkan benda seberat sekian kilogram dari satu tempat ke tempat lain.
Dari contoh-contoh tersebut, pastinya masih terdapat beragam contoh lain dari implementasi inquiry-discovery dalam pembelajaran anak usia dini. Dengan menggunakan beraneka ragam pendekatan ataupun metode, guru diharapkan dapat memanfaatkan model inquiry-discovery sebagai sebuah alternatif dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga anak-anak dapat memperoleh pengalaman yang signifikan dari proses belajarnya. Agar penerapan model tersebut berjalan efektif dan efisien, guru hendaknya tetap memperhatikan langkah-langkah sebagaimana yang telah diuraikan di awal.


Referensi
Amri, Sofan dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran: Pengaruhnya terhadap Mekanisme dan Praktik Kurikulum, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2010.
Andrianto, Dedy, Memanfaatkan Lingkungan Sekitar sebagai Sumber Belajar Anak Usia Dini, Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini-Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional, 2011.
Hamalik, Oemar, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Riyanto, Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, Jakarta: Kencana, 2010.
Roestiyah N.K., Strategi Belajar Mengajar, Bandung: Rineka Cipta.
Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Sagala, Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar, Bandung: Alfabeta, 2010.
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2006.
Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis, Bandung: PT Imtima, 2007.


[1] Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 134.
[2] Isjoni, Model Pembelajaran Anak Usia Dini (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 74.
[3] Ibid., hlm. 86-93.
[4] Rusman, Model-model, hlm. 133.
[5] Ibid., hlm. 136.
[6] Ibid., hlm. 140.
[7] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 195.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 196.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 196-197.
[12] Ibid., hlm. 197.
[13] Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran: Pengaruhnya terhadap Mekanisme dan Praktik Kurikulum (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2010), hlm. 200.
[14] Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 171.
[15] Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi, hlm. 200.
[16] Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 107.
[17] Wina Sanjaya, Strategi, hlm. 197-198.
[18] Ibid., hlm. 199-201.
[19] Ibid., hlm. 201-205.
[20] Yatim Riyanto, Paradigma, hlm. 171.
[21] Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi, hlm. 200-201.
[22] Ibid., hlm. 201.
[23] Wina Sanjaya, Strategi, hlm. 207.
[24] Ibid., hlm. 208-209.
[25] Roestiyah N.K., Strategi Belajar Mengajar (Bandung: Rineka Cipta), hlm. 20.
[26] Ibid., hlm. 20-21.
[27] Ibid., hlm. 21.
[28] Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 187.
[29] Ibid., hlm. 187-188.
[30] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 136.
[31] Ibid., hlm. 137.
[32] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis (Bandung: PT Imtima, 2007), hlm 113.
[33] Dedy Andrianto, Memanfaatkan Lingkungan Sekitar sebagai Sumber Belajar Anak Usia Dini (Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini-Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional, 2011), hlm. 7-8.