Selamat datang di SUMBER PAUD. Temukan apa yang tidak bisa ditemukan di tempat lain!

Kamis, 24 Mei 2012

AKU SUDAH BESAR


Ibu, aku sudah besar
Aku tidak nangis lagi
Ibu, aku sudah besar
Sudah bisa pipis sendiri
Oh ibu, aku sudah besar
Aku ingin terus belajar
Oh ibu, aku sudah besar
Kuingin jadi anak pintar...

Lagu di atas terinspirasi oleh anak-anak (yang dianggap) masih kecil dan sedang bermetamorfosis menjadi anak (yang bisa dianggap) besar.

INQUIRY-DISCOVERY DALAM PEMBELAJARAN ANAK USIA DINI

Pembelajaran Anak Usia Dini
Pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa/anak, baik interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung, yakni dengan menggunakan berbagai media pembelajaran.[1] Proses pembelajaran di PAUD pada umumnya dilandasi oleh dua teori belajar, yaitu behaviorisme dan konstruktivisme. Kedua aliran tersebut memiliki karakteristik berbeda. Aliran pertama menitikberatkan pada hasil dari proses belajar, yang kedua menekankan pada proses belajar itu sendiri.[2]
Sementara terkait dengan metode pembelajaran, ada beberapa metode yang dapat diterapkan di PAUD: (1) metode bermain, (2) metode karyawisata, (3) metode bercakap-cakap, (4) metode bercerita, (5) metode demonstrasi, (6) metode proyek, dan (7) metode pemberian tugas.[3]

Model Pembelajaran
Pada proses penerapannya, istilah-istilah seperti model, pendekatan, strategi, metode, teknik, dan sebagainya sangatlah familiar dalam lingkup pembelajaran. Akan tetapi istilah-istilah tersebut seringkali kemudian menyebabkan timbulnya kebingungan pada sebagian orang.
Model pembelajaran, menurut Joyce & Weil, adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya guru boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya.[4]
Berdasarkan teorinya, pembelajaran dikategorikan menjadi beberapa model. Di antaranya:
1.      Model interaksi sosial
2.      Model pemrosesan informasi
3.      Model personal
4.      Model behavioral (modifikasi tingkah laku)[5]
Selanjutnya Rusman menerangkan bahwa terdapat strategi pembelajaran untuk masing-masing model tersebut. Salah satu dari keempat model tersebut, yakni model pemrosesan informasi meliputi strategi pembelajaran seperti: (1) mengajar induktif, (2) latihan inquiry, (3) inquiry keilmuan, (4) pembentukan konsep, (5) model pengembangan, dan (6) advanced organizer model.[6] Sedikit uraian mengenai inquiry—berikut istilah yang seringkali menjadi padanannya, yakni discovery—dapat dilihat pada poin berikut.

Inquiry
Strategi pembelajaran inkuiri (SPI) menekankan pada proses mencari dan menemukan. Materi tidak diberikan secara langsung. Peran anak dalam strategi ini adalah mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing anak untuk belajar.[7]
SPI banyak dipengaruhi oleh aliran belajar kognitif. Menurut aliran ini belajar pada hakikatnya adalah proses mental dan proses berpikir dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki setiap individu secara optimal. Belajar lebih dari sekadar menghafal dan menumpuk ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan yang diperolehnya bermakna untuk anak melalui keterampilan berpikir. Masih menurut teori ini, belajar pada hakikatnya bukan peristiwa behavioral yang dapat diamati, tetapi proses seseorang untuk memaknai lingkungannya sendiri. Proses mental inilah yang sebenarnya aspek yang sangat penting dalam perilaku belajar itu sendiri.[8]
Teori belajar lain yang mendasari SPI adalah teori belajar konstruktivistik. Teori ini dikembangkan oleh Piaget. Menurutnya, pengetahuan itu akan bermakna manakala dicari dan ditemukan sendiri oleh anak. Sejak kecil, menurut Piaget, setiap individu berusaha dan mampu mengembangkan pengetahuannya sendiri melalui skema yang ada dalam struktur kognitifnya. Skema tersebut secara terus-menerus diperbarui dan diubah melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dengan demikian, tugas guru adalah mendorong anak untuk mengembangkan skema yang terbentuk melalui kedua proses tersebut.[9]
SPI adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan anak. Strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein, berarti saya menemukan.[10]
Ciri-ciri utama pembelajaran inkuiri sendiri dapat diamati melalui pembacaan aspek-aspek berikut.
1.  Menekankan kepada aktivitas anak secara maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi ini menempatkan anak sebagai subyek belajar. Anak tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
2.      Seluruh aktivitas anak diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri. Guru di sini sebagai fasilitator dan motivator belajar anak. Aktivitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan anak. Jadi kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri.
3.      Tujuan penggunaan SPI adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Anak tidak hanya dituntut untuk menguasai materi, tetapi ia diarahkan pula untuk dapat menggunakan segala potensinya.[11]
SPI merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada anak (student centered approach). Dikatakan demikian karena dalam strategi ini anak memegang peran yang sangat dominan dalam proses pembelajaran.[12]
Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan anak untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia, atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.[13]
Rujukan lain menekankan bahwa inquiry (menemukan) merupakan kegiatan inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dari keterampilan yang diperoleh anak bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan apapun materi yang diajarkannya.[14]
Joyce mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi anak, yaitu:
  1. Aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang anak berdiskusi;
  2. Berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan
  3. Penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan realibilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis.[15]
Sementara itu Syaiful Sagala menuturkan bahwa pendekatan inquiry dapat dilaksanakan apabila syarat-syarat berikut dipenuhi.
1.  Guru harus terampil memilih persoalan yang relevan untuk diajukan kepada kelas (persoalan bersumber dari bahan/materi yang menantang/problematik)
2.  Guru harus terampil menumbuhkan motivasi belajar anak dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan
3.      Adanya fasilitas dan sumber belajar yang cukup
4.      Adanya kebebasan anak untuk berpendapat, berkarya, berdiskusi
5.      Partisipasi setiap anak dalam kegiatan belajar
6.      Guru tidak banyak campur tangan dan intervensi terhadap kegiatan anak[16]
Kemudian SPI akan efektif tatkala:
  1. Guru mengharapkan anak dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan yang ingin dipecahkan. Penguasaan materi bukan tujuan utama, tetapi yang lebih dipentingkan adalah proses belajar.
  2. Bahan pembelajaran tidak berbentuk fakta atau konsep yang sudah jadi, akan tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian.
  3. Proses pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu anak terhadap sesuatu.
  4. Guru akan mengajar pada sekelompok anak yang rata-rata memiliki kemauan dan kemampuan berpikir. SPI akan kurang berhasil diterapkan kepada anak yang kurang memiliki kemampuan untuk berpikir.
  5. Jumlah anak yang belajar terlalu banyak sehingga bisa dikendalikan oleh guru.
  6. Guru memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat pada anak.[17]
Dalam praktiknya, guru dituntut untuk tidak mengabaikan prinsip-prinsip penggunaan SPI berikut.
  1. Berorientasi pada pengembangan intelektual
  2. Prinsip interaksi
  3. Prinsip bertanya
  4. Prinsip belajar untuk berpikir
  5. Prinsip keterbukaan[18]
Adapun urutan langkah-langkah pelaksanaan SPI secara umum meliputi: (1) orientasi, (2) merumuskan masalah, (3) mengajukan hipotesis, (4) mengumpulkan data, (5) menguji hipotesis, dan (6) merumuskan kesimpulan.[19]
Keenam langkah tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Riyanto. Dengan istilah yang sedikit berbeda, ia menggunakan kata Siklus Inquiry yang mencakup urutan observation, questioning, hypothesis, data gathering, conclusion.[20]
Sementara itu, berhubungan dengan langkah-langkah di atas Amri dan Ahmadi menjelaskan bahwa kemampuan yang dituntut menurut tahapan-tahapan inkuiri berupa:
  1. Merumuskan masalah. Kemampuan yang dituntut: kesadaran terhadap masalah, melihat pentingnya masalah, merumuskan masalah.
  2. Mengembangkan hipotesis. Kemampuan yang dituntut: menguji dan menggolongkan yang dapat diperoleh, melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis, dan merumuskan hipotesis.
  3. Menguji jawaban tentatif. Kemampuan yang dituntut:
a.    Merakit peristiwa, terdiri dari: mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data.
b. Menyusun data, terdiri dari: mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengklasifikasikan data.
c.  Analisis data, terdiri dari: melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan tren, sekuensi, dan keteraturan.
  1. Menarik kesimpulan. Kemampuan yang dituntut:
a.       Mencari pola dan makna hubungan
b.      Merumuskan kesimpulan
  1. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi.[21]
Selanjutnya guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja kelompok.[22]
Runtutan penerapan SPI sebagaimana tergambar di atas ternyata tidak semudah apa yang dibayangkan. Berbagai kesulitan pun muncul ketika guru harus menerapkan strategi tersebut. Di antara kesulitan-kesulitan yang dihadapi adalah:
  1. Karena SPI menekankan kepada proses, guru yang sudah terbiasa menekankan kepada hasil belajar akan kesulitan, bahkan keberatan untuk mengubah pola mengajarnya.
  2. Sejak lama telah tertanam dalam budaya belajar anak bahwa belajar pada dasarnya adalah menerima materi dari guru. Dengan demikian bagi mereka guru adalah sumber belajar yang utama. Dengan kondisi seperti itu, anak akan sulit diajak memecahkan persoalan. Anak juga akan sulit disuruh untuk bertanya.
  3. Guru kebingungan antara penerapan pembelajaran yang mementingkan kepada proses atau kepada hasil.[23]
Terlepas dari perdebatan mengenai kesulitan-kesulitan tersebut, SPI juga memiliki keunggulan dan kelemahan. Di antara keunggulannya adalah:
  1. SPI merupakan strategi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui strategi ini dianggap lebih bermakna.
  2. SPI dapat memberikan ruang kepada anak untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka.
  3. SPI merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
  4. SPI dapat melayani kebutuhan anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Anak yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh anak yang lemah dalam belajar.
Sementara kelemahan yang dimiliki dari penerapan strategi pembelajaran inkuiri adalah:
  1. Jika SPI digunakan sebagai strategi pembelajaran, maka akan sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan anak.
  2. SPI sulit dalam merencanakan pembelajaran karena terbentur dengan kebiasaan anak dalam belajar.
  3. Dalam penerapannya, kadang-kadang memerlukan waktu yang cukup panjang, sehingga guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan.
  4. Selama kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan anak menguasai materi pelajaran, maka SPI akan sulit diterapkan oleh setiap guru.[24]
Setelah mengetahui kelebihan dan kelemahan SPI, hendaknya guru dapat mengantisipasi jika ingin menerapkan strategi tersebut, sehingga kekurangan dalam pelaksanaannya dapat tertutupi. Kemudian istilah inquiry terkadang disepadankan dengan discovery. Istilah pertama sudah mafhum dan telah dibahas, sedangkan untuk lebih jelasnya mengenai istilah yang kedua dapat disimak melalui pembahasan berikut.


Discovery
Discovery adalah proses mental di mana anak mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental tersebut antara lain adalah mengamati, mencerna, mengerti, menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Suatu konsep misalnya segitiga, panas, demokrasi, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud prinsip misalnya logam apabila dipanaskan akan mengembang. Dalam teknik ini anak dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri. Guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Di antara caranya adalah dengan tukar pendapat, diskusi, seminar, membaca dan mencoba sendiri, sehingga anak dapat belajar sendiri. Dengan teknik ini guru berusaha meningkatkan aktivitas anak dalam proses belajar mengajar.[25]
Terdapat beberapa keunggulan dari kegiatan discovery yang dapat dijabarkan sebagaimana berikut.
  1. Membantu anak untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan anak.
  2. Anak memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual sehingga dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa anak tersebut.
  3. Membangkitkan kegairahan belajar anak.
  4. Memberikan kesempatan kepada anak untuk berkembang dan maju sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
  5. Mampu mengarahkan cara anak belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat untuk belajar lebih giat.
  6. Membantu anak untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan proses penemuan sendiri.
  7. Strategi berpusat pada anak, bukan pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar, membantu bila diperlukan.[26]
Sementara kelemahan dari kegiatan discovery dapat diamati dari serentetan poin berikut.
  1. Pada anak harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini. Anak harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan baik.
  2. Bila kelas terlalu besar, penggunaan teknik ini akan kurang berhasil.
  3. Bagi guru dan anak yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan pengajaran tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik penemuan.
  4. Ada yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan keterampilan bagi anak.
  5. Teknik ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berpikir secara kreatif.[27]
Strategi belajar discovery paling baik dilaksanakan dalam kelompok belajar kecil. Namun ia dapat juga dilakukan dalam kelompok belajar yang lebih besar. Meskipun tidak semua anak dapat terlibat dalam proses discovery, namun pendekatan ini dapat memberikan manfaat bagi anak yang belajar. Pendekatan ini dapat dilaksanakan dalam bentuk komunikasi satu arah ataupun dua arah, bergantung pada besarnya kelas.[28]
1.      Sistem satu arah (ceramah reflektif)
Pendekatan satu arah artinya penyajian satu arah (penuangan/exposition) yang dilakukan guru. Struktur penyajiannya dalam bentuk usaha merangsang anak melakukan proses discovery di depan kelas. Guru mengajukan suatu masalah dan kemudian memecahkan masalah tersebut melalui langkah-langkah discovery. Caranya adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kelas, memberikan kesempatan kepada kelas untuk melakukan refleksi. Selanjutnya guru menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu. Dalam prosedur ini guru tidak menentukan/menunjukkan aturan-aturan yang harus digunakan oleh anak, tetapi dengan pertanyaan-pertanyaan guru mengundang anak untuk mencari aturan-aturan yang harus diperbuatnya. Pemecahan masalah berlangsung selangkah semi selangkah dalam urutan yang ditemukan sendiri oleh anak. Guru mengharapkan agar anak secara keseluruhan berhasil melibatkan dirinya dalam proses pemecahan masalah, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya secara reflektif. Penggunaan discovery dalam kelompok kecil sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman guru sendiri, serta waktu dan kemampuan mengatasi kesulitan anak.
2.      Sistem dua arah (discovery terbimbing)[29]
Ada yang menyebut discovery learning sebagai belajar inkuiri (inquiry learning), yaitu suatu kegiatan belajar yang mengemukakan aktivitas anak. Inkuiri menekankan kepada proses mencarinya, sedangkan discovery menekankan kepada penemuannya. Anak yang melakukan kegiatan pencarian, apalagi yang sistematis dan teratur, kemungkinan besar akan menemukan sesuatu, sedangkan penemuan pada hakikatnya adalah suatu hasil dari proses pencarian. Strategi jenis ini memadukan konsep psikologi naturalistik romantik dan kognitif-gestalt.
Dalam strategi ini, bentuk bahan ajar tidak dijadikan sebagai bahan jadi, tetapi dapat berupa bahan setengah jadi, bahkan bahan seperempat jadi. Bahan pembelajaran dinyatakan sebagai rangkaian pertanyaan terstruktur yang harus dijawab oleh anak. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, anak nantinya tidak saja mendapatkan pemahaman menyeluruh terhadap suatu obyek kajian, tetapi pemahamannya juga dikembangkan secara bertingkat, sampai kemudian, …aha, aku telah menemukan! Berbeda dengan pendekatan behaviorisme di mana jawaban dari suatu pertanyaan merupakan jawaban tunggal yang pasti benar.[30]
Dalam pembelajaran penemuan ada sejumlah alternatif jawaban dengan nuansa perbedaan yang tipis, dalam hal ini tingkat kedewasaan atau kematangan struktur kognitif anak yang akan mampu membedakan. Dimungkinkan juga jawaban dari pertanyaan tersebut berupa jawaban hipotetik yang harus dibuktikan lebih lanjut kebenarannya.[31]
Beberapa metode pembelajaran yang termasuk dalam strategi discovery di antaranya: pembelajaran yang menggunakan lingkungan, pengamatan, percobaan, dan pemecahan masalah.[32]


Implementasi Inquiry-Discovery dalam Pembelajaran Anak Usia Dini
Pada pembahasan awal telah dipetakan masing-masing dari inquiry dan discovery. Kedua istilah tersebut sesungguhnya memiliki persamaan, sehingga tidak heran jika terkadang kedua kata itu dipertukarkan. Persamaan antara keduanya dapat dilihat melalui uraian berikut.
Ø  Sama-sama mencakup proses mencari dan menemukan
Ø  Guru bertindak sama, yakni sebagai fasilitator dan pembimbing
Ø  Kedua strategi ini berpusat pada anak (student/children centered)
Ø  Contoh penerapannya adalah melalui diskusi/tanya jawab
Ø  Kurang efektif untuk kelas besar
Selanjutnya berikut ini adalah penjabaran mengenai implementasi dari model inquiry-discovery pada ranah PAUD.
Telah disinggung di awal bahwa di antara metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses penerapan inquiry-discovery adalah pembelajaran yang menggunakan lingkungan, pengamatan, percobaan, dan pemecahan masalah.
Pembelajaran yang menggunakan lingkungan akan sangat berkaitan dengan pendidikan berwawasan lingkungan. Pendidikan ini bertujuan membentuk perilaku, nilai, dan kebiasaan untuk menghargai lingkungan. Pembelajarannya akan cenderung outdoor (di luar ruangan). Pada tataran praktis, anak dikenalkan sejak dini tentang lingkungannya, terutama konteks di mana anak berada. Anak juga diajak untuk merasakan langsung bahwa ia adalah bagian dari lingkungan. Di lingkungannya, anak dapat diarahkan untuk mengamati kemudian membedakan benda hidup dan benda mati.
Pembelajaran dengan lingkungan sebagai sumber belajar merupakan bentuk tantangan terhadap pola pembelajaran yang selama ini berkutat di dalam kelas (indoor). Di lingkungannya, anak dapat lebih bebas bersosialisasi dengan anak sebaya, orang dewasa, pun juga dengan binatang, tumbuhan, atau dengan makhluk hidup lainnya. Dengan pembelajaran ini anak dapat menemukan perbedaan antara dia dengan anak-anak lainnya, begitu juga dengan dunia sekitarnya. Dengan rasa ingin tahunya yang luar biasa, anak dapat diajak berpetualang untuk mendapatkan segala sesuatu yang baru. Anak sangat senang mencoba baik dengan cara memegang, memakan atau melempar benda-benda dan minat yang kuat untuk mengamati lingkungan.
Lingkungan sendiri sebagai sumber belajar dapat diartikan sebagai kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan makhluk hidup—termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya serta makhluk hidup lainnya, sehingga memungkinkan anak usia dini untuk belajar tentang informasi, orang, bahan, dan alat. Lingkungan itu terdiri dari unsur-unsur makhluk hidup, benda mati, dan budaya manusia.[33] Pada proses pembelajaran, misalnya, anak-anak dapat dirangsang untuk menjawab pertanyaan tentang berapa jumlah temannya yang laki-laki dan berapa yang perempuan. Di samping itu anak juga dapat diberi stimulus untuk membedakan ukuran bebatuan, jenis binatang ternak, dan lain-lain.
Pembelajaran yang menggunakan metode percobaan dapat dicontohkan proses penerapannya oleh anak-anak dengan berlatih mencampur warna (dengan bahan cat tembok sederhana). Dengan cara seperti itu, anak akan menemukan warna hijau ketika ia telah mencampur cat warna kuning dengan warna biru. Warna orange dapat diperoleh dengan mencampur cat merah dengan cat kuning. Eksperimen lain yang dapat ditempuh adalah percobaan untuk menemukan konsep panjang dan pendek (dengan dua/lebih potongan kayu), tinggi dan rendah (aliran air dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah), dan sebagainya.
Pembelajaran untuk pemecahan masalah dapat dilakukan dengan pemberian masalah sederhana kepada anak. Misalnya, dengan permainan balok, anak diberi rangsangan untuk menyelesaikan bagaimana meletakkan balok segitiga, segiempat, segilima, atau lingkaran, ke tempatnya masing-masing. Selain itu, dengan pola pembelajaran kooperatif anak-anak akan terlihat bentuk kerjasamanya ketika mereka diberi seutas tali untuk memindahkan benda seberat sekian kilogram dari satu tempat ke tempat lain.
Dari contoh-contoh tersebut, pastinya masih terdapat beragam contoh lain dari implementasi inquiry-discovery dalam pembelajaran anak usia dini. Dengan menggunakan beraneka ragam pendekatan ataupun metode, guru diharapkan dapat memanfaatkan model inquiry-discovery sebagai sebuah alternatif dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga anak-anak dapat memperoleh pengalaman yang signifikan dari proses belajarnya. Agar penerapan model tersebut berjalan efektif dan efisien, guru hendaknya tetap memperhatikan langkah-langkah sebagaimana yang telah diuraikan di awal.


Referensi
Amri, Sofan dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran: Pengaruhnya terhadap Mekanisme dan Praktik Kurikulum, Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2010.
Andrianto, Dedy, Memanfaatkan Lingkungan Sekitar sebagai Sumber Belajar Anak Usia Dini, Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini-Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional, 2011.
Hamalik, Oemar, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Riyanto, Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, Jakarta: Kencana, 2010.
Roestiyah N.K., Strategi Belajar Mengajar, Bandung: Rineka Cipta.
Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Sagala, Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar, Bandung: Alfabeta, 2010.
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2006.
Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis, Bandung: PT Imtima, 2007.


[1] Rusman, Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm. 134.
[2] Isjoni, Model Pembelajaran Anak Usia Dini (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 74.
[3] Ibid., hlm. 86-93.
[4] Rusman, Model-model, hlm. 133.
[5] Ibid., hlm. 136.
[6] Ibid., hlm. 140.
[7] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 195.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hlm. 196.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hlm. 196-197.
[12] Ibid., hlm. 197.
[13] Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran: Pengaruhnya terhadap Mekanisme dan Praktik Kurikulum (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2010), hlm. 200.
[14] Yatim Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi Guru/Pendidik dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 171.
[15] Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi, hlm. 200.
[16] Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar (Bandung: Alfabeta, 2010), hlm. 107.
[17] Wina Sanjaya, Strategi, hlm. 197-198.
[18] Ibid., hlm. 199-201.
[19] Ibid., hlm. 201-205.
[20] Yatim Riyanto, Paradigma, hlm. 171.
[21] Sofan Amri dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi, hlm. 200-201.
[22] Ibid., hlm. 201.
[23] Wina Sanjaya, Strategi, hlm. 207.
[24] Ibid., hlm. 208-209.
[25] Roestiyah N.K., Strategi Belajar Mengajar (Bandung: Rineka Cipta), hlm. 20.
[26] Ibid., hlm. 20-21.
[27] Ibid., hlm. 21.
[28] Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm. 187.
[29] Ibid., hlm. 187-188.
[30] Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 136.
[31] Ibid., hlm. 137.
[32] Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian 2 Ilmu Pendidikan Praktis (Bandung: PT Imtima, 2007), hlm 113.
[33] Dedy Andrianto, Memanfaatkan Lingkungan Sekitar sebagai Sumber Belajar Anak Usia Dini (Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini-Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional, 2011), hlm. 7-8.