Selamat datang di SUMBER PAUD. Temukan apa yang tidak bisa ditemukan di tempat lain!

Minggu, 13 Januari 2013

Sepintas Kabar PAUD di Sulsel

Makassar (ANTARA News) - Realisasi jangkauan terhadap pendidikan anak usia dini di Sulsel baru sekitar 165 ribu orang anak dari target satu juta anak.

"Target tersebut diharapkan tercapai dalam kurun waktu enam tahun untuk menjangkau anak usia nol hingga enam tahun," kata Kepala Bidang Pendidikan Formal dan Informal, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sulsel Djamal Abdi di Makassar, Senin.

Dia mengatakan, program PAUD tersebut mendapat alokasi anggaran dari pemerintah pusat melalui APBN. Khusus periode 2012 telah dikucurkan sebanyak Rp26 miliar untuk menjangkau 40 ribu orang anak.

Sementara anggaran PAUD pada 2013 yang bersumber dari APBN, diakui lebih rendah yakni Rp20 miliar. Dengan dana tersebut diprediksi hanya dapat menjangkau sekitar 35 ribu orang anak.

"Masih rendahnya capaian menjangkau anak untuk program PAUD, karena keterbatasan alokasi dana baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah setempat," katanya.

Mengenai penyaluran anggaran PAUD periode 2013, lanjut dia, direncanakan langsung ke kelompok belajar anak. Sementara peran Pemprov Sulsel melalui Dinas Pendidikan setempat, hanya bertugas mengawasi jalannya program itu.

Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah pusat telah menginstruksikan agar Pemda menyiapkan regulasinya, termasuk menyiapkan dana dukungan dari APBD.

"Sehingga pada 2015 mendatang, angka partisipasi kasar PAUD dapat mencapai 75 persen dari jumlah yang ditargetkan yakni satu juta orang anak," katanya.

Sumber: http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/44365/realisasi-paud-sulsel-baru-165-ribu-anak-

Elvera, Sang Pembuka Portal Literasi Anak-anak PAUD Indonesia Timur (Berita Inspiratif 1)

    Waktu itu, senja telah turun di Mataram. Kaki pun hendak melesat cepat seusai menapak turun dari anak tangga pesawat. Namun apa daya, hujan lebat yang terlampau kerap menyapa memaksa semua barang bawaan harus ditahan semalam.
    Esok harinya, di akhir November 2009, Elvera Nuriawati Makki melangkah menembus kabut. Sejurus kemudian, semuanya terbayar saat menyaksikan sorot puluhan pasang mata yang berbinar.
    Di sudut lain, hujan tadi malam menyisakan aroma basah pada rak kayu di depan sebuah teras rumah. Rak itu masih kosong dan menunggu untuk diisi. Vera –sapaan karibnya– memandangnya lega.
    Sambutan itu sudah melebih ekspektasi. Sekitar 34 bocah rela menanti perjalanan Vera dari pusat kota yang harus ditempuh dua jam dengan bermobil ke Batu Lawang, Desa Gelanggang, wilayah terpencil di Lombok Timur. ’’Itu untuk kali pertama saya menyinggahi PAUD Assajari,” cerita Vera saat ditemui Jawa Pos (grup Radar Lampung) di kediamannya The Green, Serpong, Tangerang, akhir pekan lalu (5/1).
    Senyum bocah 3-5 tahun itu langsung mengembang saat mereka menyaksikan Vera membuka barang bawaan penuh dengan tumpukan buku bacaan anak-anak. Tanpa banyak kata, para bocah itu berebut mengambil buku, lantas keheranan dengan isi yang ada di dalamnya. Gajah, jerapah, burung, dan ayam, dengan semburat merah, kuning, dan hijau, menyapa mereka dengan kata: Halo!
    Dalam kerumunan bocah itu, beberapa masih malu-malu menunjuk buku yang disuka. Ada pula yang agresif bertanya kepada pengasuh PAUD-nya, gambar apa ini dan itu. Ada yang rajin menyimak sang pengasuh membacakan cerita. Ada pula yang serius menyendiri dan membaca berjam-jam, tetapi ternyata bukunya terbalik.
    Gelak tawa menyeruak di ruang terbuka itu. Aksi sosial pertama Vera berhasil. Dia yang berambisi menumbuhkan budaya membaca sejak dini diterima dengan hangat. Kegiatan membaca buku dan mendongeng pun akhirnya dimasukkan ke dalam kurikulum PAUD Assajari, yang sebelumnya hanya bermain dan bernyanyi.
    Semangat yang meletup-letup ini semua berawal dari buku. Bagi Vera, membaca adalah kata lain berkomunikasi. Bagi balita, mungkin yang mereka butuhkan hanya gambar-gambar cerah yang menarik mata, yang di dalamnya ada personifikasi binatang-binatang yang mencoba berdialog dengan anak-anak. Namun, bagaimana jika tak semua bocah bisa menikmati buku yang kaya ilmu itu sesuai dengan usianya? Pada akhirnya anak-anak itu terpaksa membaca buku bekas kakak kelas, yang cenderung serius, dan tidak memicu kegembiraan membaca.
    Krisis buku bacaan untuk anak-anak ini secara nyata dialami wilayah-wilayah terpencil di Indonesia bagian timur (Intim). Banyak pertimbangan ekonomi di dalamnya. Faktor beratnya ongkos logistik membuat para distributor buku anak-anak lebih banyak enggan mengirimnya ke wilayah yang dihitung tak banyak mengeruk untung. Kalaupun ada yang sampai ke Intim, banderol buku cerita tipis si Kancil saja mungkin sudah puluhan ribu rupiah harganya. Dalam kondisi itu, masyarakat dengan nilai penghasilan yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari tak bakal mungkin mengalokasikan dananya untuk membeli buku bacaan anaknya.
    Lantaran itu, Vera yang sehari-hari menjadi deputy director corporate communication public affairs Mercedez-Benz Indonesia ini berkomitmen secara mandiri mendirikan Taman Bacaan Anak Lebah (TBAL). Kecintaannya kepada anak-anak dan budaya literasi memicunya rela menuju pelosok-pelosok Indonesia untuk membawa sendiri buku bacaan anak-anak itu.
    Pada mulanya, dia memilih Lombok Timur yang jarang terjamah, tak seperti bagian lain Pulau Lombok yang sarat pelancong dan wisatawan mancanegara. Untuk kali pertama ada empat titik PAUD yang dia rawat di Lombok. Hingga sekarang total ada 12 titik, yang di antaranya tersebar enam titik di Lombok, Pulau Seram (sebelah utara Pulau Ambon), Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan yang terbaru di Pulau Fordata (Kabupaten Maluku Tenggara Barat).
    ’’Perjalanan ke Fordata, naik pesawat dua jam dari Ambon menuju Saumlaki (ibu kota Kabupaten Pulau Yamdena). Lalu harus naik kapal lagi ke Fordata,” terang perempuan kelahiran Jakarta, 26 Mei 1976, tersebut.
    Tiap derap perjalanan, dia selalu mengunggahnya ke blog maupun jejaring sosial. Tak pelak, satu per satu terbukalah akses untuk mengirimkan buku ke wilayah yang paling membutuhkan. Salah satunya kelompok pengungsi yang lari dari konflik di Maluku dan Pulau Buru pada 1999 yang menewaskan banyak korban dan telah memusnahkan rumah dan harta benda. Mereka kini bermukim di Pulau Ambon. Anak-anak yang dilahirkan dan dibesarkan di pengungsian itu saat ini belajar dengan komunitas Gunung Mimpi.
    Pengiriman buku TBAL dilakukan dua kali dalam setahun. Tepatnya pada kisaran Mei-Juni dan November-Desember. Asumsinya, dalam tempo itu anak-anak tengah menikmati libur panjang semesternya. Dengan begitu, mereka bisa membunuh waktu dengan membaca. Para relawan, baik individu maupun komunitas, dengan suka cita membantu Vera mengirimkan buku.
    Vera menyandarkan diri pada sofa cokelat empuk saat memaparkan program sosial TBAL satu buku satu saudara. "Setiap pengirim buku bisa menaruh testimoninya untuk menjalin komunikasi dengan anak-anak yang membacanya," terang Vera yang mengenakan setelan rok putih dan kaus biru gelap. Alumnus University of Houston, Texas, AS, tersebut menjelaskan, pengurus PAUD selanjutnya akan mengirim laporan kegiatan hasil relawan. "Biasanya lebih cepat diunggah lewat Facebook. Kadang kalau e-mail terlalu rumit," terang Vera, lantas tertawa.
    Sejauh ini, istri Vandy R. Makki ini tak menemukan kendala yang berarti selain masalah logistik pengiriman yang memang membutuhkan perjuangan. Tak semua pengusaha logistik mau mengirimkan paket buku ke wilayah terpencil. "Saya pernah ngotot kepada jasa pengiriman karena saat itu mereka sulit menemukan letak salah satu PAUD di Sulawesi," terang ibu Vala, 9, dan Varen Makki, 5, tersebut.
    Kini sudah hampir empat tahun Vera menjalani aksi sosialnya. Setidaknya, dia harus menggelontorkan dana buku hingga logistik minus tiket pesawat perorangan mencapai Rp 40 juta dalam setahun untuk sepuluh titik yang dia rawat.
    Dua titik lainnya di Pulau Seram, dia bekerja sama dengan perusahaan Kalrez Petroleum Seram Ltd dan Citic Seram Energy Limited. Pada 2013, perempuan yang juga pernah menjadi jurnalis radio ini akan menambah dua titik PAUD lagi di Intim. "Ada rencana yang belum terealisasi, yakni di Papua," papar Vera yang sering mengajak suami dan dua anaknya untuk ikut bertualang ke pulau-pulau terpencil guna menebar hak para bocah membaca buku itu.

Sumber: http://www.radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/55530-elvera-buka-gerbang-literasi-anak-anak-paud-indonesia-timur

Prioritas untuk PAUD tahun ini, iya kah?

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menjanjikan program pendidikan bagi 1,35 juta anak usia dini menjadi salah satu prioritas dalam kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada tahun yang akan datang. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh, dalam rapat kerja bersama anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, Senin (10/9/2012), mengatakan, hal ini dilakukan karena jumlah anak berusia 3-6 tahun di Indonesia akan mencapai angka 40 juta anak.

Nuh menegaskan, Kemendikbud akan meningkatkan perhatian pada lembaga Pendidikak Anak Usia Dini (PAUD) dengan menyediakan dana Bantuan Operasional dan Perawatan (BOP) bagi 45 ribu lembaga PAUD yang ada.

"Tidak hanya bantuan operasional, Kementrian juga akan membangun lagi 50 unit PAUD terpadu dan merehabilitasi 100 lembaga PAUD yang dilaporkan dalam keadaan tidak baik," paparnya.

Nuh juga menambahkan pihaknya akan menyalurkan bantuan pada 13 ribu lembaga PAUD rintisan. Selain itu, bantuan juga diberikan untuk pendirian 260 ruang kelas baru PAUD, pemberian alat peraga edukasi bagi 2 ribu lembaga PAUD yang terdaftar, dan penguatan sarana kelembagaan bagi 16 ribu PAUD tersebut.

Pendidikan nonformal
Dalam pembahasan ini, anggota DPR komisi X Venna Melinda juga menyinggung anggaran PAUD senilai 2,8 Miliar juga harus mencakup pendidikan nonformal yang saat ini harus lebih diperhatikan lagi.

"Pendidikan non formal sekarang sedang marak dilaksanakan komunitas-komunitas yang belum atau tidak punya badan hukum. Sekolah anak jalanan, juga tolong diperhatikan karena miris sekali melihat kondisi mereka," kata mantan putri Indonesia itu.

Selama ini Venna mengamati komunitas pendidikan nonformal justru konsisten dalam menangani pendidikan di masyarakat.

"Beberapa kali saya pernah berkunjung ke sekolah sampah Bantar Gebang, komunitas sekolah Terminal Hujan Bogor, yang kadang berpindah-pindah tempat karena kehujanan itu sesuai namanya," ungkapnya.

"Paling baru Sekolah Darurat Kartini, sekolah ini juga sering berpindah-pindah tempat. Bagaimana punya badan hukum, kalau tempat aja masih belum tetap. Sebab, mereka punya hak untuk itu," tambahnya kemudian.

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/2012/09/11/08170518/2013.Pemerintah.Bakal.Prioritaskan.PAUD