Ada dua sikap yang mirip tetap sering disamakan. Bagiku, dua sikap
itu sangat berbeda maknanya karena hasil keduanya pun teramat berbeda.
Dua sikap itu adalah curiga dan waspada. Menurutku,
curiga
adalah sikap tidak percaya atas keadaan karena keadaan itu dipandang
sebuah kemustahilan. Sikap curiga akan melahirkan prasangka buruk
sehingga sering menggelisahkan diri dan juga keinginan untuk
menyebarluaskan rasa itu. Berbeda halnya dengan sikap
waspada
yang lebih bermakna hati-hati. Sikap waspada adalah sikap kurang
percaya sehingga perlu diperhatikan segala dampak yang mungkin dapat
ditimbulkan. Dalam ungkapan lain, sikap waspada sering dimaknai
“jaga-jaga” alias antisipasi.
Semalam (Jumat, 30 Juni 2013),
saya mendapat keluhan dari teman yang kebetulan juga seorang
kompasianer. Saat ini, ia sudah menyelesaikan 3 buku teks BP (Bimbingan
dan Penyuluhan) dan 3 buku BK (Bimbingan dan Konseling) untuk SMA/ SMK.
Itu berarti ia sudah menyelesaikan 6 buku teks. Dari pihak penerbit,
enam naskah buku itu akan dibeli putus senilai
HANYA
Rp7 juta. Tentu nilai itu teramat sedikit jika dibandingkan dengan nilai
jual buku itu nantinya. Usut punya usut, ternyata ia menggunakan
MEDIATOR alias broker naskah.
Ketika
di awal saya terkejut, akhirnya saya pun tersenyum usai mendengar
keterlibatan pihak ketiga itu. Memang di dunia penerbitan dikenal
istilah broker,
script hunter, atau kolektor naskah. Mereka
bertugas untuk mencari naskah-naskah yang layak diterbitkan. Biasanya
mereka mencari naskah dengan memasang iklan di media cetak atau
menghubungi organisasi-organisasi profesi yang sering berkaitan dengan
buku. Para broker atau mediator ini kadang digaji oleh perusahaan,
tetapi sering pula mereka mencari “makan” sendiri dengan menjual naskah
yang didapatkannya kepada penerbit dengan harga selangit.
Berkenaan
dengan itu, saya pun memberikan dua saran, yaitu nego ulang atau cabut
naskah. Nego ulang dan cabut naskah dapat dilakukan jika perjanjian
belum ditandatangani. Memang sebaiknya naskah SPK (Surat Perjanjian
Kerjasama) dibaca dengan cermat agar tidak menimbulkan masalah di
kemudian hari. Nego ulang berkenaan dengan perubahan angka harga naskah
dan cabut naskah berkenaan dengan pembatalan kerjasama. Sepertinya
temanku memilih opsi kedua jika opsi pertama gagal dilakukan. Satu
alasan:
biasanya mediator sudah menerima uang DP atas pembelian naskah tersebut.
Kisah
di atas melengkapi dua kisah sebelumnya. Awal tahun ini, saya pun
mendapat keluhan dari dua teman yang kebetulan naskah bukunya
diterbitkan. Dua temanku mengalami kejadian yang lebih menyakitkan. Ia
tak menerima bayaran sepersen pun meskipun jelas-jelas naskahnya
diterbitkan. Bahkan, naskah salah satu temanku itu menjadi buku proyek
pemerintah yang bukunya didistribusikan ke semua sekolah di tanah air.
Dapat dibayangkan, betapa besarnya royaltinya jika itu diuangkan.
Berkenaan dengan itu dan belajar dari pengalaman pribadi, mungkin saya
bisa memberikan 3 saran agar kejadian di atas tidak terulang, yaitu
kenali penerbitnya, jangan kirim
softcopy, dan bersikap tegas.
Pertama, kenali
penerbitnya. Cara mengenali penerbit buku dapat dilakukan dengan
bertanya kepada para penulis terdahulu atau senior. Tanyakan
kredibilitas dan akuntabilitas penerbitnya. Pernahkah penulis itu ditipu
penerbit itu? Bolehkah penulis menanyakan royalti setiap saat? Bolehkah
penulis menanyakan besaran omzet penjualan bukunya?
Biasanya
penerbit besar yang kredibel dan akuntabel memberikan kebebasan kepada
penulis untuk mengetahui tingkat penjualan bukunya.
Kedua, jangan kirim
softcopy. Ternyata tiga temanku di atas mengirimkan
softcopy melalui mediator atau penerbit. itu adalah kesalahan besar jika tidak disertai dengan bukti penerimaan
softcopy karena dapat diplagiat dengan diatasnamakan orang lain. Berikanlah
hardcopy atau cetakan yang dijilid biasa untuk dikoreksi oleh editor. Biasanya penerbit besar tak berani menerima
softcopy karena mereka sudah mengetahui tingkat risikonya.
Jika
penerbit itu terbukti menerbitkan buku penulis tanpa seizinnya,
penerbit itu dapat dituntut pelanggaran hak cipta dengan denda teramat
luar biasa besarnya.
Ketiga, bersikap tegas.
Biasanya ini dialami oleh para penulis pemula yang takut naskahnya tidak
dibukunkan. Jika penerbit itu berbelit-belit memberikan penjelasan
kepada penulis, sebaiknya penulis langsung mengambil sikap tegas:
cabut saja naskahnya. Silakan dibaca tulisan ini:
Tips Menulis Surat Pencabutan Naskah ke Penerbit.
Penulis tak perlu takut atas naskahnya. Banyak penerbit masih berkenan
dan membutuhkan naskah-naskah itu. Silakan tulisan ini dibaca:
Tips Menawarkan Naskah ke Penerbit.
Saya
berharap agar pengalaman 3 temanku di atas dapat digunakan sebagai
pelajaran bagi penulis (pemula). Menulis buku itu sulit karena
diperlukan stamina yang bagus, pengetahuan yang luas, dan kesabaran nan
tinggi. Jadi, saya teramat sedih manakala mendapat keluhan-keluhan
seperti di atas. Mudah-mudahan pengalaman tersebut bermanfaat agar kita,
para penulis, bersikap lebih waspada. Semoga bermanfaat.
Sumber:
Kompasiana