Pembelajaran
Anak Usia Dini
Pembelajaran
pada hakikatnya merupakan proses interaksi antara guru dengan siswa/anak, baik
interaksi secara langsung seperti kegiatan tatap muka maupun secara tidak
langsung, yakni dengan menggunakan berbagai media pembelajaran. Proses pembelajaran di PAUD pada umumnya dilandasi oleh dua
teori belajar, yaitu behaviorisme dan konstruktivisme. Kedua aliran tersebut
memiliki karakteristik berbeda. Aliran pertama menitikberatkan pada hasil dari
proses belajar, yang kedua menekankan pada proses belajar itu sendiri.
Sementara
terkait dengan metode pembelajaran, ada beberapa metode yang dapat diterapkan
di PAUD: (1) metode bermain, (2) metode karyawisata, (3) metode bercakap-cakap,
(4) metode bercerita, (5) metode demonstrasi, (6) metode proyek, dan (7) metode
pemberian tugas.
Model
Pembelajaran
Pada
proses penerapannya, istilah-istilah seperti model, pendekatan, strategi,
metode, teknik, dan sebagainya sangatlah familiar dalam lingkup pembelajaran.
Akan tetapi istilah-istilah tersebut seringkali kemudian menyebabkan timbulnya
kebingungan pada sebagian orang.
Model
pembelajaran, menurut Joyce & Weil, adalah suatu rencana atau pola yang
dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka
panjang), merancang bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas
atau yang lain. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya guru
boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan
pendidikannya.
Berdasarkan
teorinya, pembelajaran dikategorikan menjadi beberapa model. Di antaranya:
1. Model interaksi sosial
2. Model pemrosesan informasi
3. Model personal
4. Model behavioral (modifikasi tingkah
laku)
Selanjutnya Rusman
menerangkan bahwa terdapat strategi pembelajaran untuk masing-masing model
tersebut. Salah satu dari keempat model tersebut, yakni model pemrosesan
informasi meliputi strategi pembelajaran seperti: (1) mengajar induktif, (2)
latihan inquiry, (3) inquiry keilmuan, (4) pembentukan konsep,
(5) model pengembangan, dan (6) advanced organizer model.
Sedikit uraian mengenai inquiry—berikut istilah yang seringkali menjadi
padanannya, yakni discovery—dapat dilihat pada poin berikut.
Inquiry
Strategi
pembelajaran inkuiri (SPI) menekankan pada proses mencari dan menemukan. Materi
tidak diberikan secara langsung. Peran anak dalam strategi ini adalah mencari
dan menemukan sendiri materi pelajaran. Sedangkan guru berperan sebagai
fasilitator dan pembimbing anak untuk belajar.
SPI
banyak dipengaruhi oleh aliran belajar kognitif. Menurut aliran ini belajar
pada hakikatnya adalah proses mental dan proses berpikir dengan memanfaatkan
segala potensi yang dimiliki setiap individu secara optimal. Belajar lebih dari
sekadar menghafal dan menumpuk ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan
yang diperolehnya bermakna untuk anak melalui keterampilan berpikir. Masih
menurut teori ini, belajar pada hakikatnya bukan peristiwa behavioral yang
dapat diamati, tetapi proses seseorang untuk memaknai lingkungannya sendiri.
Proses mental inilah yang sebenarnya aspek yang sangat penting dalam perilaku
belajar itu sendiri.
Teori
belajar lain yang mendasari SPI adalah teori belajar konstruktivistik. Teori
ini dikembangkan oleh Piaget. Menurutnya, pengetahuan itu akan bermakna
manakala dicari dan ditemukan sendiri oleh anak. Sejak kecil, menurut Piaget,
setiap individu berusaha dan mampu mengembangkan pengetahuannya sendiri melalui
skema yang ada dalam struktur kognitifnya. Skema tersebut secara terus-menerus
diperbarui dan diubah melalui proses asimilasi dan akomodasi. Dengan demikian,
tugas guru adalah mendorong anak untuk mengembangkan skema yang terbentuk
melalui kedua proses tersebut.
SPI
adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir
secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari
suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya
dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan anak. Strategi pembelajaran ini
sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal dari bahasa
Yunani, yaitu heuriskein, berarti saya menemukan.
Ciri-ciri
utama pembelajaran inkuiri sendiri dapat diamati melalui pembacaan aspek-aspek
berikut.
1. Menekankan kepada aktivitas anak secara
maksimal untuk mencari dan menemukan, artinya strategi ini menempatkan anak
sebagai subyek belajar. Anak tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran
melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan
sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
2. Seluruh aktivitas anak diarahkan untuk
mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga
diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri. Guru di sini sebagai fasilitator
dan motivator belajar anak. Aktivitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui
tanya jawab antara guru dan anak. Jadi kemampuan guru dalam menggunakan teknik
bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri.
3. Tujuan penggunaan SPI adalah mengembangkan
kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau mengembangkan
kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Anak tidak hanya
dituntut untuk menguasai materi, tetapi ia diarahkan pula untuk dapat
menggunakan segala potensinya.
SPI
merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada anak (student
centered approach). Dikatakan demikian karena dalam strategi ini anak
memegang peran yang sangat dominan dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran
inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh
kemampuan anak untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia, atau
peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Rujukan
lain menekankan bahwa inquiry (menemukan) merupakan kegiatan inti dari
kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dari keterampilan yang
diperoleh anak bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari
menemukan sendiri. Guru harus merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan
menemukan apapun materi yang diajarkannya.
Joyce
mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan
inkuiri bagi anak, yaitu:
- Aspek
sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang
mengundang anak berdiskusi;
- Berfokus
pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan
- Penggunaan
fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan
validitas dan realibilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam
pengujian hipotesis.
Sementara
itu Syaiful Sagala menuturkan bahwa pendekatan inquiry dapat
dilaksanakan apabila syarat-syarat berikut dipenuhi.
1. Guru harus terampil memilih persoalan
yang relevan untuk diajukan kepada kelas (persoalan bersumber dari bahan/materi
yang menantang/problematik)
2. Guru harus terampil menumbuhkan motivasi
belajar anak dan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan
3. Adanya fasilitas dan sumber belajar yang
cukup
4. Adanya kebebasan anak untuk berpendapat,
berkarya, berdiskusi
5. Partisipasi setiap anak dalam kegiatan
belajar
6. Guru tidak banyak campur tangan dan
intervensi terhadap kegiatan anak
Kemudian
SPI akan efektif tatkala:
- Guru
mengharapkan anak dapat menemukan sendiri jawaban dari suatu permasalahan
yang ingin dipecahkan. Penguasaan materi bukan tujuan utama, tetapi yang
lebih dipentingkan adalah proses belajar.
- Bahan
pembelajaran tidak berbentuk fakta atau konsep yang sudah jadi, akan
tetapi sebuah kesimpulan yang perlu pembuktian.
- Proses
pembelajaran berangkat dari rasa ingin tahu anak terhadap sesuatu.
- Guru
akan mengajar pada sekelompok anak yang rata-rata memiliki kemauan dan
kemampuan berpikir. SPI akan kurang berhasil diterapkan kepada anak yang
kurang memiliki kemampuan untuk berpikir.
- Jumlah
anak yang belajar terlalu banyak sehingga bisa dikendalikan oleh guru.
- Guru
memiliki waktu yang cukup untuk menggunakan pendekatan yang berpusat pada
anak.
Dalam
praktiknya, guru dituntut untuk tidak mengabaikan prinsip-prinsip penggunaan
SPI berikut.
- Berorientasi
pada pengembangan intelektual
- Prinsip
interaksi
- Prinsip
bertanya
- Prinsip
belajar untuk berpikir
- Prinsip
keterbukaan
Adapun
urutan langkah-langkah pelaksanaan SPI secara umum meliputi: (1) orientasi, (2)
merumuskan masalah, (3) mengajukan hipotesis, (4) mengumpulkan data, (5) menguji
hipotesis, dan (6) merumuskan kesimpulan.
Keenam
langkah tersebut senada dengan apa yang dikemukakan oleh Riyanto. Dengan
istilah yang sedikit berbeda, ia menggunakan kata Siklus Inquiry yang
mencakup urutan observation, questioning, hypothesis, data gathering,
conclusion.
Sementara
itu, berhubungan dengan langkah-langkah di atas Amri dan Ahmadi menjelaskan
bahwa kemampuan yang dituntut menurut tahapan-tahapan inkuiri berupa:
- Merumuskan
masalah. Kemampuan yang dituntut: kesadaran terhadap masalah, melihat
pentingnya masalah, merumuskan masalah.
- Mengembangkan
hipotesis. Kemampuan yang dituntut: menguji dan menggolongkan yang dapat
diperoleh, melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis, dan
merumuskan hipotesis.
- Menguji
jawaban tentatif. Kemampuan yang dituntut:
a. Merakit peristiwa, terdiri dari:
mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi
data.
b. Menyusun data, terdiri dari:
mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengklasifikasikan data.
c. Analisis data, terdiri dari: melihat
hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan tren,
sekuensi, dan keteraturan.
- Menarik
kesimpulan. Kemampuan yang dituntut:
a. Mencari pola dan makna hubungan
b. Merumuskan kesimpulan
- Menerapkan
kesimpulan dan generalisasi.
Selanjutnya
guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai
konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat
membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi
kerja kelompok.
Runtutan
penerapan SPI sebagaimana tergambar di atas ternyata tidak semudah apa yang
dibayangkan. Berbagai kesulitan pun muncul ketika guru harus menerapkan
strategi tersebut. Di antara kesulitan-kesulitan yang dihadapi adalah:
- Karena
SPI menekankan kepada proses, guru yang sudah terbiasa menekankan kepada
hasil belajar akan kesulitan, bahkan keberatan untuk mengubah pola
mengajarnya.
- Sejak
lama telah tertanam dalam budaya belajar anak bahwa belajar pada dasarnya
adalah menerima materi dari guru. Dengan demikian bagi mereka guru adalah
sumber belajar yang utama. Dengan kondisi seperti itu, anak akan sulit
diajak memecahkan persoalan. Anak juga akan sulit disuruh untuk bertanya.
- Guru
kebingungan antara penerapan pembelajaran yang mementingkan kepada proses
atau kepada hasil.
Terlepas
dari perdebatan mengenai kesulitan-kesulitan tersebut, SPI juga memiliki keunggulan
dan kelemahan. Di antara keunggulannya adalah:
- SPI
merupakan strategi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif, afektif,
dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui strategi ini
dianggap lebih bermakna.
- SPI
dapat memberikan ruang kepada anak untuk belajar sesuai dengan gaya
belajar mereka.
- SPI
merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi
belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah
laku berkat adanya pengalaman.
- SPI
dapat melayani kebutuhan anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata.
Anak yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh anak
yang lemah dalam belajar.
Sementara
kelemahan yang dimiliki dari penerapan strategi pembelajaran inkuiri adalah:
- Jika
SPI digunakan sebagai strategi pembelajaran, maka akan sulit mengontrol
kegiatan dan keberhasilan anak.
- SPI
sulit dalam merencanakan pembelajaran karena terbentur dengan kebiasaan
anak dalam belajar.
- Dalam
penerapannya, kadang-kadang memerlukan waktu yang cukup panjang, sehingga
guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan.
- Selama
kriteria keberhasilan belajar ditentukan oleh kemampuan anak menguasai
materi pelajaran, maka SPI akan sulit diterapkan oleh setiap guru.
Setelah mengetahui
kelebihan dan kelemahan SPI, hendaknya guru dapat mengantisipasi jika ingin
menerapkan strategi tersebut, sehingga kekurangan dalam pelaksanaannya dapat
tertutupi. Kemudian istilah inquiry terkadang disepadankan dengan discovery.
Istilah pertama sudah mafhum dan telah dibahas, sedangkan untuk lebih
jelasnya mengenai istilah yang kedua dapat disimak melalui pembahasan berikut.
Discovery
Discovery adalah proses
mental di mana anak mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses
mental tersebut antara lain adalah mengamati, mencerna, mengerti,
menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan
sebagainya. Suatu konsep misalnya segitiga, panas, demokrasi, dan lain-lain.
Sedangkan yang dimaksud prinsip misalnya logam apabila dipanaskan akan
mengembang. Dalam teknik ini anak dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami
proses mental itu sendiri. Guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Di
antara caranya adalah dengan tukar pendapat, diskusi, seminar, membaca dan
mencoba sendiri, sehingga anak dapat belajar sendiri. Dengan teknik ini guru
berusaha meningkatkan aktivitas anak dalam proses belajar mengajar.
Terdapat
beberapa keunggulan dari kegiatan discovery yang dapat dijabarkan
sebagaimana berikut.
- Membantu
anak untuk mengembangkan, memperbanyak kesiapan, serta penguasaan
keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan anak.
- Anak
memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi/individual sehingga
dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa anak tersebut.
- Membangkitkan
kegairahan belajar anak.
- Memberikan
kesempatan kepada anak untuk berkembang dan maju sesuai dengan
kemampuannya masing-masing.
- Mampu
mengarahkan cara anak belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat
untuk belajar lebih giat.
- Membantu
anak untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri dengan
proses penemuan sendiri.
- Strategi
berpusat pada anak, bukan pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar,
membantu bila diperlukan.
Sementara
kelemahan dari kegiatan discovery dapat diamati dari serentetan poin
berikut.
- Pada
anak harus ada kesiapan dan kematangan mental untuk cara belajar ini. Anak
harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan
baik.
- Bila
kelas terlalu besar, penggunaan teknik ini akan kurang berhasil.
- Bagi
guru dan anak yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan pengajaran
tradisional mungkin akan sangat kecewa bila diganti dengan teknik penemuan.
- Ada
yang berpendapat bahwa proses mental ini terlalu mementingkan proses
pengertian saja, kurang memperhatikan perkembangan/pembentukan sikap dan
keterampilan bagi anak.
- Teknik
ini mungkin tidak memberikan kesempatan untuk berpikir secara kreatif.
Strategi
belajar discovery paling baik dilaksanakan dalam kelompok belajar kecil.
Namun ia dapat juga dilakukan dalam kelompok belajar yang lebih besar. Meskipun
tidak semua anak dapat terlibat dalam proses discovery, namun pendekatan
ini dapat memberikan manfaat bagi anak yang belajar. Pendekatan ini dapat
dilaksanakan dalam bentuk komunikasi satu arah ataupun dua arah, bergantung
pada besarnya kelas.
1. Sistem satu arah (ceramah reflektif)
Pendekatan
satu arah artinya penyajian satu arah (penuangan/exposition) yang
dilakukan guru. Struktur penyajiannya dalam bentuk usaha merangsang anak
melakukan proses discovery di depan kelas. Guru mengajukan suatu masalah
dan kemudian memecahkan masalah tersebut melalui langkah-langkah discovery.
Caranya adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada kelas, memberikan
kesempatan kepada kelas untuk melakukan refleksi. Selanjutnya guru menjawab
sendiri pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu. Dalam prosedur ini guru tidak
menentukan/menunjukkan aturan-aturan yang harus digunakan oleh anak, tetapi
dengan pertanyaan-pertanyaan guru mengundang anak untuk mencari aturan-aturan
yang harus diperbuatnya. Pemecahan masalah berlangsung selangkah semi selangkah
dalam urutan yang ditemukan sendiri oleh anak. Guru mengharapkan agar anak
secara keseluruhan berhasil melibatkan dirinya dalam proses pemecahan masalah,
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya secara reflektif. Penggunaan discovery
dalam kelompok kecil sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman guru
sendiri, serta waktu dan kemampuan mengatasi kesulitan anak.
2. Sistem dua arah (discovery terbimbing)
Ada
yang menyebut discovery learning sebagai belajar inkuiri (inquiry
learning), yaitu suatu kegiatan belajar yang mengemukakan aktivitas anak.
Inkuiri menekankan kepada proses mencarinya, sedangkan discovery
menekankan kepada penemuannya. Anak yang melakukan kegiatan pencarian, apalagi
yang sistematis dan teratur, kemungkinan besar akan menemukan sesuatu,
sedangkan penemuan pada hakikatnya adalah suatu hasil dari proses pencarian.
Strategi jenis ini memadukan konsep psikologi naturalistik romantik dan
kognitif-gestalt.
Dalam
strategi ini, bentuk bahan ajar tidak dijadikan sebagai bahan jadi, tetapi
dapat berupa bahan setengah jadi, bahkan bahan seperempat jadi. Bahan pembelajaran
dinyatakan sebagai rangkaian pertanyaan terstruktur yang harus dijawab oleh
anak. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, anak nantinya tidak saja
mendapatkan pemahaman menyeluruh terhadap suatu obyek kajian, tetapi
pemahamannya juga dikembangkan secara bertingkat, sampai kemudian, …aha, aku
telah menemukan! Berbeda dengan pendekatan behaviorisme di mana jawaban
dari suatu pertanyaan merupakan jawaban tunggal yang pasti benar.
Dalam
pembelajaran penemuan ada sejumlah alternatif jawaban dengan nuansa perbedaan
yang tipis, dalam hal ini tingkat kedewasaan atau kematangan struktur kognitif
anak yang akan mampu membedakan. Dimungkinkan juga jawaban dari pertanyaan tersebut
berupa jawaban hipotetik yang harus dibuktikan lebih lanjut kebenarannya.
Beberapa metode
pembelajaran yang termasuk dalam strategi discovery di antaranya:
pembelajaran yang menggunakan lingkungan, pengamatan, percobaan, dan pemecahan
masalah.
Implementasi Inquiry-Discovery
dalam Pembelajaran Anak Usia Dini
Pada
pembahasan awal telah dipetakan masing-masing dari inquiry dan discovery.
Kedua istilah tersebut sesungguhnya memiliki persamaan, sehingga tidak heran
jika terkadang kedua kata itu dipertukarkan. Persamaan antara keduanya dapat
dilihat melalui uraian berikut.
Ø Sama-sama mencakup proses mencari dan
menemukan
Ø Guru bertindak sama, yakni sebagai
fasilitator dan pembimbing
Ø Kedua strategi ini berpusat pada anak (student/children
centered)
Ø Contoh penerapannya adalah melalui
diskusi/tanya jawab
Ø Kurang efektif untuk kelas besar
Selanjutnya
berikut ini adalah penjabaran mengenai implementasi dari model inquiry-discovery
pada ranah PAUD.
Telah
disinggung di awal bahwa di antara metode pembelajaran yang dapat digunakan
dalam proses penerapan inquiry-discovery adalah pembelajaran yang menggunakan
lingkungan, pengamatan, percobaan, dan pemecahan masalah.
Pembelajaran
yang menggunakan lingkungan akan sangat berkaitan dengan pendidikan berwawasan
lingkungan. Pendidikan ini bertujuan membentuk perilaku, nilai, dan kebiasaan
untuk menghargai lingkungan. Pembelajarannya akan cenderung outdoor (di
luar ruangan). Pada tataran praktis, anak dikenalkan sejak dini tentang
lingkungannya, terutama konteks di mana anak berada. Anak juga diajak untuk
merasakan langsung bahwa ia adalah bagian dari lingkungan. Di lingkungannya,
anak dapat diarahkan untuk mengamati kemudian membedakan benda hidup dan benda
mati.
Pembelajaran
dengan lingkungan sebagai sumber belajar merupakan bentuk tantangan terhadap
pola pembelajaran yang selama ini berkutat di dalam kelas (indoor). Di
lingkungannya, anak dapat lebih bebas bersosialisasi dengan anak sebaya, orang
dewasa, pun juga dengan binatang, tumbuhan, atau dengan makhluk hidup lainnya.
Dengan pembelajaran ini anak dapat menemukan perbedaan antara dia dengan anak-anak
lainnya, begitu juga dengan dunia sekitarnya. Dengan rasa ingin tahunya yang
luar biasa, anak dapat diajak berpetualang untuk mendapatkan segala sesuatu
yang baru. Anak sangat senang mencoba baik dengan cara memegang, memakan atau
melempar benda-benda dan minat yang kuat untuk mengamati lingkungan.
Lingkungan
sendiri sebagai sumber belajar dapat diartikan sebagai kesatuan ruang dengan
semua benda dan keadaan makhluk hidup—termasuk di dalamnya manusia dan
perilakunya serta makhluk hidup lainnya, sehingga memungkinkan anak usia dini
untuk belajar tentang informasi, orang, bahan, dan alat. Lingkungan itu terdiri
dari unsur-unsur makhluk hidup, benda mati, dan budaya manusia.
Pada proses pembelajaran, misalnya, anak-anak dapat dirangsang untuk menjawab
pertanyaan tentang berapa jumlah temannya yang laki-laki dan berapa yang
perempuan. Di samping itu anak juga dapat diberi stimulus untuk membedakan
ukuran bebatuan, jenis binatang ternak, dan lain-lain.
Pembelajaran
yang menggunakan metode percobaan dapat dicontohkan proses penerapannya oleh
anak-anak dengan berlatih mencampur warna (dengan bahan cat tembok sederhana).
Dengan cara seperti itu, anak akan menemukan warna hijau ketika ia telah
mencampur cat warna kuning dengan warna biru. Warna orange dapat diperoleh dengan
mencampur cat merah dengan cat kuning. Eksperimen lain yang dapat ditempuh
adalah percobaan untuk menemukan konsep panjang dan pendek (dengan dua/lebih
potongan kayu), tinggi dan rendah (aliran air dari tempat yang tinggi ke tempat
yang lebih rendah), dan sebagainya.
Pembelajaran
untuk pemecahan masalah dapat dilakukan dengan pemberian masalah sederhana
kepada anak. Misalnya, dengan permainan balok, anak diberi rangsangan untuk
menyelesaikan bagaimana meletakkan balok segitiga, segiempat, segilima, atau lingkaran,
ke tempatnya masing-masing. Selain itu, dengan pola pembelajaran kooperatif anak-anak
akan terlihat bentuk kerjasamanya ketika mereka diberi seutas tali untuk memindahkan
benda seberat sekian kilogram dari satu tempat ke tempat lain.
Dari contoh-contoh
tersebut, pastinya masih terdapat beragam contoh lain dari implementasi inquiry-discovery
dalam pembelajaran anak usia dini. Dengan menggunakan beraneka ragam pendekatan
ataupun metode, guru diharapkan dapat memanfaatkan model inquiry-discovery
sebagai sebuah alternatif dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga anak-anak
dapat memperoleh pengalaman yang signifikan dari proses belajarnya. Agar
penerapan model tersebut berjalan efektif dan efisien, guru hendaknya tetap
memperhatikan langkah-langkah sebagaimana yang telah diuraikan di awal.
Referensi
Amri,
Sofan dan Iif Khoiru Ahmadi, Konstruksi Pengembangan Pembelajaran:
Pengaruhnya terhadap Mekanisme dan Praktik Kurikulum, Jakarta: Prestasi
Pustakaraya, 2010.
Andrianto,
Dedy, Memanfaatkan Lingkungan Sekitar sebagai Sumber Belajar Anak Usia Dini,
Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini-Direktorat Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan
Nasional, 2011.
Hamalik,
Oemar, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, Jakarta:
Bumi Aksara, 2010.
Riyanto,
Yatim, Paradigma Baru Pembelajaran: Sebagai Referensi bagi Guru/Pendidik
dalam Implementasi Pembelajaran yang Efektif dan Berkualitas, Jakarta:
Kencana, 2010.
Roestiyah
N.K., Strategi Belajar Mengajar, Bandung: Rineka Cipta.
Rusman,
Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru,
Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Sagala,
Syaiful, Konsep dan Makna Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan
Problematika Belajar dan Mengajar, Bandung: Alfabeta, 2010.
Sanjaya,
Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta: Kencana, 2006.
Suyono
dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran: Teori dan Konsep Dasar,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.
Tim
Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Ilmu & Aplikasi Pendidikan: Bagian 2
Ilmu Pendidikan Praktis, Bandung: PT Imtima, 2007.